KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerapkan aturan fintech peer-to-peer (P2P) lending harus memenuhi batas permodalan minimum mulai 4 Juli 2023. Adapun minimal ekuitas atau modalnya senilai Rp 2,5 miliar, kemudian meningkat pada tahun selanjutnya. Terkait hal itu, Co-Founder & CEO Modalku Reynold Wijaya mengatakan persyaratan modal dan ekuitas merupakan hal yang penting serta wajar bagi lembaga jasa keuangan. "Kecukupan modal merupakan salah satu cara untuk menentukan tingkat kesehatan suatu perusahaan dan merupakan strategi untuk dapat bertahan dalam kondisi sulit," ucap dia kepada KONTAN.CO.ID, Jumat (16/6).
Untuk menjalankan kegiatan usaha dalam bidang layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi, Reynold beranggapan tentunya penyelenggara diharapkan memiliki keuangan yang sehat. Oleh karena itu, persyaratan permodalan dan ekuitas menjadi salah satu tolok ukur yang direncanakan dan akan diatur ke depannya.
Baca Juga: Izin Baru Fintech akan Dikaji dari Jenis Pembiayaan, Begini Komentar Pelaku Industri Dia pun mengungkapkan Modalku sudah memenuhi persyaratan permodalan yang ditetapkan OJK untuk platform layanan fintech pendanaan. Nilai ekuitas Modalku juga telah melampaui nilai yang diwajibkan pada aturan tersebut. Adapun pihak PT Akulaku Finance Indonesia yang juga terafiliasi dengan fintech P2P lending PT Pintar Inovasi Digital atau Asetku juga angkat bicara terkait modal minimum tersebut. Presiden Direktur Akulaku Finance Indonesia Efrinal Sinaga menyetujui persyaratan tersebut. Sebab, peningkatan modal itu menunjukkan komitmen yang tinggi dari pemegang saham. "Selain itu, menjamin keberlangsungan operasional, terutama di tahap awal
starting business di mana
revenue masih kecil, sedangkan biaya operasional cukup besar," ujarnya kepada KONTAN.CO.ID, Jumat (18/6). Sementara itu, AdaKami mengaku sudah siap memenuhi permodalan minimum Rp 2,5 miliar yang telah ditetapkan OJK. Hal itu disampaikan Presiden Direktur AdaKami Bernardino Moningka Vega beberapa waktu lalu. Dia pun mengatakan pihaknya bahkan siap mematuhi permodalan yang makin meningkat ke depannya. Di sisi lain, Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah sempat mengatakan apabila ada perusahaan yang modal minimumnya belum bisa terpenuhi, para perusahaan bisa melakukan merger atau akuisisi. "Tentu ada opsi untuk melakukan merger dengan pemain lain. Kalau akuisisi, itu bisa, terutama bagi perusahaan yang sudah memenuhi atau melewati masa lock up. Jadi, setelah 3 tahun berizin, platform itu sudah boleh memindahkan, menjual, atau mengoperalihkan sahamnya ke pihak lain. Namun, sebelum waktu tersebut, dia tak boleh, kalau perlu setor modal, ya, harus dari kantong
existing shareholder-nya," ungkapnya.
Baca Juga: Soal Tren Penyaluran Pendanaan Bagi Industri Fintech ke Depan, Begini Kata AFPI Menurut Kuseryansyah, merger bisa menjadi alternatif sesuai dengan kondisi faktual di lapangan. Merger juga sudah dimungkinkan secara regulasi, yakni untuk memenuhi permodalan minimum yang tertuang dalam POJK Nomor 10.
Sebagai informasi, batas permodalan atau ekuitas fintech telah diatur dalam ketentuan Peraturan OJK (POJK) Nomor 10/POJK.05/2022. Tertuang, penyelenggara fintech harus memenuhi modal atau ekuitas secara bertahap. Adapun tahap pertama dimulai pada 4 Juli 2023 dengan minimal permodalan senilai Rp 2,5 miliar. Setelah itu, pada 4 Juli 2024 fintech harus memiliki modal minimum Rp 7,5 miliar dan berlanjut hingga Rp 12,5 miliar pada 4 Juli 2025 mendatang. OJK juga sempat menyebut sebelumnya dari 26 fintech yang belum memenuhi syarat permodalan, sebanyak 12 perusahaan masih memiliki ekuitas negatif. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .