KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) cukup positif, bahkan sempat menyentuh level tertingginya. Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan mengatakan, pergerakan pasar saham Indonesia tentu tidak terlepas dari kondisi regional maupun global. “Sama seperti kondisi ekonomi makro dan mikro kita yang tidak bisa berdiri sendiri, lepas dari kondisi ekonomi global,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (17/8).
Sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi, IHSG beberapa kali menembus all time high ke level 6.000 dan 7.000. Peningkatan dalam periode tersebut juga terjadi pada kapitalisasi, likuiditas, jumlah emiten, dan kemampuan pasar menyerap pendanaan.
Baca Juga: IHSG Melemah 0,59% pada Jumat (18/8), Begini Reviewnya dalam Sepekan Memang, jika melihat besaran pertumbuhan per tahunnya jauh lebih kecil dibandingkan periode sebelumnya. Namun, kenaikan secara nilai sangat baik. Misalnya, kapitalisasi pasar saham sejak 2014 hingga sekarang meningkat Rp 4,872 triliun, atau tumbuh 7,6% per tahun. Jika dibandingkan dengan periode sebelumnya (2004-2014), kapitalisasi pasar saham hanya meningkat Rp 4,548 triliun, atau 22,6% per tahun. “Jika pada periode 2004 - 2014 kita menghadapi krisis Subprime Mortgage, di periode 2014-2024 kita menghadapi Pandemi Covid-19,” ungkapnya. Secara kebijakan, terjadi peningkatan belanja infrastruktur Pemerintah yang meningkat signifikan selama masa kepemimpinan Jokowi. Hal ini sempat menjadi tenaga bagi IHSG. Namun, sejumlah sentimen eksternal menghantam IHSG. Contohnya, sentimen negatif dari China menghantam bursa saham global, seperti perlambatan & devaluasi Yuan. Kondisi tersebut sempat membaik dan bahkan pada tahun 2017 IHSG mampu all time high. “Namun, IHSG pun kembali dihantam sentimen COVID-19, invasi Rusia ke Ukraina, dan kenaikan suku bunga,” tuturnya. Menurut Alfred, ekspansi yang dilakukan oleh Pemerintah mampu memberikan optimisme bagi pasar secara global terhadap ekonomi Indonesia. Sebut saja, capital inflow, nilai rupiah yang relatif stabil, dan peningkatan peringkat utang Indonesia, menjadi cerminan hal tersebut. Kebijakan ekspansif Pemerintah yang dominan didanai dari utang, kata Alfred, menjadi kebijakan yang tidak menguntungkan saat Pandemi Covid-19. Hal itu yang menyebabkan resesi global, meskipun bisa dikatakan Indonesia termasuk negara dengan pemulihan ekonomi yang paling cepat. Namun, likuiditas lalu menjadi masalah utama bagi para emiten, apalagi dengan kebijakan suku bunga yang tinggi.
Baca Juga: IHSG Melemah 0,59% ke 6.859 Pada Jumat (18/8), EXCL, SIDO, TOWR Jadi Top Gainers LQ45 “Dampak buruk ekspansi utang tersebut, terlihat pada BUMN Karya yang terpuruk akibat Pandemi Covid-19,” katanya. Alfred menuturkan, kebijakan-kebijakan di pasar modal Indonesia dalam 10 tahun terakhir sangat kondusif bagi penanaman modal atau investasi. Akibatnya, minat terhadap pasar saham juga meningkat signifikan. “Hal tersebut terlihat dari jumlah investor, nilai likuiditas harian, nilai pendanaan, dan penambahan jumlah emiten,” ungkapnya. Selain itu, penggunaan BUMN oleh pemerintah juga cukup eksesif dalam suksesi program pemerintah. Hal ini dilihat pasar sebagai sentimen negatif bagi emiten BUMN. Akibatnya, minat pasar terhadap saham BUMN juga turun, terlihat dari performa IPO BUMN dan anak usahanya yang negatif. Padahal, sebelumnya menjadi emiten BUMN dan anak usahanya cukup ditunggu-tunggu investor ketika IPO. “Secara sektoral, performa yang sangat mengesankan selama masa pemerintahan Jokowi ini dihasilkan oleh sektor perbankan, karena harga sahamnya pulih paling cepat.,” tuturnya. Di sisa tahun 2023 ini, Alfred optimistis IHSG bisa kembali berada di atas level 7.000. Kondisi fundamental ekonomi Indonesia menjadi alasan yang menopang kinerja IHSG ke depannya. Menurut Alfred, pada tahun 2024, kondisi perekonomian Indonesia akan lebih baik, mengingat sudah tidak ada lagi sentimen kenaikan suku bunga bank sentral. Meskipun begitu, masih ada sentimen Perang Rusia-Ukraina yang bisa menjadi ancaman bagi supply chain, inflasi, dan kecepatan pemulihan ekonomi global.
“Performa ekonomi Indonesia sampai di semester I 2023 menunjukan kondisi yang solid dengan angka pertumbuhan PDB sebesar 5%. Ini termasuk tinggi di tengah perlambatan ekonomi global,” tuturnya. Alfred melihat, performa saham secara sektoral akan bagus pada sektor Perbankan, Properti, dan Infrastruktur, seperti telekomunikasi dan energi. Sentimennya, selain faktor makro pertumbuhan ekonomi yang kuat, sektor perbankan masih ditopang oleh pertumbuhan ekonomi yang akan meningkatkan pembiayaan dan jasa perbankan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi