KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bursa crude palm oil (CPO) resmi meluncur pada 13 Oktober 2023, dengan transaksi perdana dimulai pada Jumat (20/10). Hingga hari ini, sudah ada 18 perusahaan yang ikut serta di dalamnya. Pengamat Komoditas dan Mata Uang Lukman Leong mengatakan, tujuan dibentuknya Bursa CPO adalah untuk menentukan harga referensi untuk ekspor CPO dari Indonesia. Namun, hal itu tak serta merta bisa terwujud. “Semuanya mesti dimulai dari kecil dulu. Perlu partisipasi yang lebih besar, terutama transaksi agar bisa menciptakan harga,” ujarnya kepada Kontan, Senin (23/10).
Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori Fajar Dwi Alfian mengatakan, emiten bisa mendapatkan keuntungan jika bergabung dengan bursa CPO. Sebab, emiten bisa mendapatkan harga alternatif selain dari bursa CPO Malaysia. Sehingga, jika menguntungkan harganya, emiten akan cenderung bertransaksi di bursa tersebut. Baca Juga: Menilik Peta Persaingan Pasar Semen Usai Indocement (INTP) Akuisisi Semen Grobogan “Kerugiannya bagi emiten yang tergabung di Bursa CPO justru tidak ada. Karena ini hanya bersifat voluntary dan emiten tidak akan dikenakan sanksi apapun jika tidak ikut bergabung,” ujarnya kepada Kontan, Senin (23/10). Lukman melihat, prospek harga CPO hingga akhir tahun 2023 masih beragam. Sebab, ada sentimen perlambatan ekonomi global yang masih menekan harga CPO. “Namun, depresiasi ringgit dan rupiah bisa mendukung harga internasional,” paparnya. Faktor lain yang menjadi sentimen harga CPO adalah perang Israel-Hamas yang bisa terus membuat harga minyak mentah tinggi. Hal itu pun bisa mengerek harga CPO. Pada tahun 2024, CPO diperkirakan akan pulih seiring ada harapan pemulihan ekonomi global, sehingga bank-bank sentral akan bisa mulai menurunkan suku bunga pada tahun depan. Lukman pun memproyeksikan harga CPO akan ada di level MYR 3.600 – MYR 3.800 per ton. Dengan sentimen yang mempengaruhi harga CPO tersebut, Fajar melihat, prospek emiten CPO dalam jangka pendek ini masih akan tertekan. Baca Juga: Ini Rekomendasi Saham Vale Indonesia (INCO) yang Targetkan Produksi Nikel 70.000 Ton