Begini Tanggapan GAPPRI Soal Rencana Revisi PP No 109/2012



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan tidak mudah. Suara kontra masih terus disampaikan oleh kalangan pelaku usaha industri rokok yang cukup terdampak oleh revisi beleid ini.

Willem Petrus Riwu, Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mengatakan, ada banyak isu yang dibahas dalam revisi PP 109/2012 seperti perlindungan anak terhadap zat adiktif, pengaturan distribusi, peringatan kesehatan, dan pengaturan terhadap penggunaan produk tembakau alternatif atau rokok elektrik.

“Dapat disimpulkan bahwa tidak mungkin gagasan tersebut terakomodasi dan dirangkum dalam satu produk regulasi. Jadi terkesan hanya formalitas yang dipaksakan,” ungkap sosok yang biasa disapa Wimpi tersebut, Selasa (2/8).


Baca Juga: Pelaku Usaha Industri Hasil Tembakau Minta Peninjauan Kembali Revisi PP 109/2012

Belum lagi, revisi beleid tersebut juga menyasar perihal larangan iklan, promosi, dan sponsorhip yang sebenarnya sudah cukup jelas dipaparkan pada Pasal 24, 25e, 25f, 27, 29, 36, 37, dan 40 dalam PP No. 109/2012.

Usulan pemerintah untuk melakukan pelarangan iklan dan promosi rokok akan bertentangan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 71/PUU-XI/2013 atas Iklan dan Promosi Rokok serta Putusan MK No. 6/PUU-VII/2009 atas Perkara Permohonan Pengujian UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Keputusan tersebut menegaskan bahwa rokok adalah produk legal yang punya hak untuk berkomunikasi dengan konsumen dewasa melalui media iklan dan promosi.

Revisi PP 109/2012 juga disebut akan menyasar pada larangan penjualan rokok batangan. Sebenarnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah menerapkan larangan penjualan rokok batangan melalui ketentuan besaran produksi rokok dari pelaku usaha dalam Peraturan Dirjen Bea dan Cukai No. 31/BC/2010.

Hanya saja, menurut GAPPRI implementasi aturan tersebut di lapangan belum sepenuhnya tepat karena peran kementerian/lembaga terkait pengawasan yang masih terbatas. Terlebih lagi, ketika pemerintah menaikkan harga dan cukai tembakau ketika daya beli masyarakat melemah, sebagian perokok cenderung mencari rokok murah, termasuk rokok legal batangan.

“Sejatinya seluruh produk rokok memang telah diwajibkan untuk dijual dalam bentuk satuan kemasan pack,” kata Wimpi.

Baca Juga: Dinilai Masih Relevan, Sejumlah Stakeholders Tolak Perubahan PP 109/2012

Wimpi pun mengaku bahwa pembahasan revisi PP 109/2012 tidak prosedural. Sebab, sejumlah pelaku usaha Industri Hasil Tembakau (IHT) mendapat undangan uji publik revisi PP 109/2012 secara mendadak dari pemerintah. Beberapa pelaku IHT juga belum memperoleh draf terbaru revisi beleid tersebut.

Sebaliknya, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Agus Suprapto mengklaim, pihaknya telah menjaring pendapat dari berbagai pihak, termasuk dari pelaku usaha IHT, pelaku usaha rokok elektrik, dan petani-petani tembakau yang tentu terdampak oleh revisi PP No. 109/2012.

Kemenko PMK juga rajin berdialog dengan berbagai kementerian lainnya seperti Kementerian Perindustrian, Kemenko Bidang Perekonomian, hingga Kementerian Kesehatan yang turut memprakarsai revisi beleid tersebut. Kemenko PMK pun telah menggelar uji publik revisi PP No. 109/2012 pada Rabu, 27 Juli lalu.

Agus juga tak menampik ada beberapa pihak yang pro maupun kontra terhadap langkah pemerintah untuk merevisi PP No. 109/2012. Terlepas dari kontroversi yang muncul ke publik, pemerintah ingin supaya revisi aturan tersebut dapat segera tuntas dan kemudian diterbitkan.

Baca Juga: Pemerintah Diminta Perhatikan Substansi Revisi PP 109/2012

“Revisi ini diperlukan karena kita ingin generasi muda Indonesia terpapar oleh rokok yang berisiko secara jangka panjang. Kita juga tak ingin sistem kesehatan Indonesia jebol akibat masalah ini,” tandas dia, Selasa (2/8).

Berdasarkan riset Kemenko PMK yang merujuk hasil survei oleh Global Adults Tobacco Survey (GATS) pada 2021, jumlah perokok dewasa di Indonesia tercatat sebanyak 70,2 juta.

Jumlah perokok anak tampak meningkat, yang mana 3 dari 4 orang mulai merokok di usia kurang dari 20 tahun. Menurut riset Global Youth Tobacco Survey (GYTS), apabila jumlah perokok di Indonesia tidak dikendalikan, maka prevalensi perokok anak akan meningkat hingga 16% di masa mendatang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .