JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) menegaskan regulasi baru mengenai jumlah kepemilikan saham publik (free float) merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi agar tetap menyandang status sebagai perusahaan terbuka. Untuk itu, seluruh emiten harus memenuhi ketentuan jumlah free float minimal 7,5% agar tidak ditendang (delisting) dari BEI. "Pada akhirnya, mau dibuat mekanisme apapun, kalau tidak memenuhi persyaratan ya harus delisting," kata Hoesen, Direktur Penilaian Perusahaan BEI, di Jakarta, Jumat (24/1). Tapi, Hoesen bilang, delisting tentunya pilihan sanksi paling akhir yang akan diambil untuk menindak emiten. Sebagai regulator, BEI tentunya akan melakukan sosialisasi dan pembinaan atas ketentuan baru yang tertuang dalam Keputusan Direksi BEI Nomor Kep-00001/BEI/01-2014.Beleid yang resmi dirilis pada 20 Januari itu memang baru akan efektif berlaku pada 30 Januari 2014. "Senin (27/1), kami akan mengumpulkan emiten di Hotel Ritz Carlton Pacific Place untuk melakukan sosialisasi aturan ini," jelas Hoesen. Sayangnya, hingga kini, BEI belum bisa menentukan jumlah emiten yang masih memiliki free float di bawah 7,5%. Pasalnya, BEI akan menunggu daftar pemegang saham resmi setiap emiten yang tercantum dalam laporan keuangan per 31 Desember 2013 hasil audit. Biasanya, mayoritas emiten baru menyerahkan laporan keuangan hasil audit pada sekitar Maret-April mendatang. "Nantinya, kami akan tanya apa rencana mereka untuk meningkatkan jumlah free float," ungkap Hoesen. BEI mengakui, pengambilan keputusan yang harus dilalui emiten untuk meningkatkan free float tidak akan mudah. Sebab, emiten harus meminta persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk menggelar aksi korporasi semacam itu. Tapi, BEI menilai waktu selama 24 bulan sejak 30 Januari 2014 sudah cukup bagi emiten untuk memenuhi ketentuan free float yang baru. "Kami ambil masa selama 2 tahun karena proses untuk meningkatkan free float itu lumayan memakan waktu karena harus meminta persetujuan pemegang saham," terang Hoesen. BEI, lanjut Hoesen, tidak khawatir jika nantinya ada emiten yang memilih untuk keluar (voluntary delisting) ketimbang memenuhi aturan free float. Sebab, keputusan untuk tetap menjadi perusahaan tercatat itu berada di tangan masing-masing emiten. "Kita tidak bisa memaksa, buktinya ada juga emiten yang jumlah free float-nya di atas 7,5% tapi mengajukan voluntary delisting. Contohnya SCPI (PT Merck Sharp Pharma Tbk)," tegas Hoesen. Berdasarkan catatan KONTAN, ada beberapa emiten besar yang masih memiliki free float di bawah 7,5% dari modal disetor. Contohnya, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) yang hanya memiliki free float 1,82% dan PT Holcim Indonesia Tbk (SMCB) dengan free float 4,32%.PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (ADMF) juga hanya memiliki free float 5%. Willy Dharma, Direktur Utama ADMF menyatakan, perusahaan sebenarnya belum memiliki rencana untuk menambah kepemilikan saham publik."Kita tunggu aturannya, kalau memang harus demikian tentu perusahaan harus mematuhinya," kata Willy kepada KONTAN.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
BEI: Jika tidak penuhi free float, bisa delisting
JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) menegaskan regulasi baru mengenai jumlah kepemilikan saham publik (free float) merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi agar tetap menyandang status sebagai perusahaan terbuka. Untuk itu, seluruh emiten harus memenuhi ketentuan jumlah free float minimal 7,5% agar tidak ditendang (delisting) dari BEI. "Pada akhirnya, mau dibuat mekanisme apapun, kalau tidak memenuhi persyaratan ya harus delisting," kata Hoesen, Direktur Penilaian Perusahaan BEI, di Jakarta, Jumat (24/1). Tapi, Hoesen bilang, delisting tentunya pilihan sanksi paling akhir yang akan diambil untuk menindak emiten. Sebagai regulator, BEI tentunya akan melakukan sosialisasi dan pembinaan atas ketentuan baru yang tertuang dalam Keputusan Direksi BEI Nomor Kep-00001/BEI/01-2014.Beleid yang resmi dirilis pada 20 Januari itu memang baru akan efektif berlaku pada 30 Januari 2014. "Senin (27/1), kami akan mengumpulkan emiten di Hotel Ritz Carlton Pacific Place untuk melakukan sosialisasi aturan ini," jelas Hoesen. Sayangnya, hingga kini, BEI belum bisa menentukan jumlah emiten yang masih memiliki free float di bawah 7,5%. Pasalnya, BEI akan menunggu daftar pemegang saham resmi setiap emiten yang tercantum dalam laporan keuangan per 31 Desember 2013 hasil audit. Biasanya, mayoritas emiten baru menyerahkan laporan keuangan hasil audit pada sekitar Maret-April mendatang. "Nantinya, kami akan tanya apa rencana mereka untuk meningkatkan jumlah free float," ungkap Hoesen. BEI mengakui, pengambilan keputusan yang harus dilalui emiten untuk meningkatkan free float tidak akan mudah. Sebab, emiten harus meminta persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk menggelar aksi korporasi semacam itu. Tapi, BEI menilai waktu selama 24 bulan sejak 30 Januari 2014 sudah cukup bagi emiten untuk memenuhi ketentuan free float yang baru. "Kami ambil masa selama 2 tahun karena proses untuk meningkatkan free float itu lumayan memakan waktu karena harus meminta persetujuan pemegang saham," terang Hoesen. BEI, lanjut Hoesen, tidak khawatir jika nantinya ada emiten yang memilih untuk keluar (voluntary delisting) ketimbang memenuhi aturan free float. Sebab, keputusan untuk tetap menjadi perusahaan tercatat itu berada di tangan masing-masing emiten. "Kita tidak bisa memaksa, buktinya ada juga emiten yang jumlah free float-nya di atas 7,5% tapi mengajukan voluntary delisting. Contohnya SCPI (PT Merck Sharp Pharma Tbk)," tegas Hoesen. Berdasarkan catatan KONTAN, ada beberapa emiten besar yang masih memiliki free float di bawah 7,5% dari modal disetor. Contohnya, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) yang hanya memiliki free float 1,82% dan PT Holcim Indonesia Tbk (SMCB) dengan free float 4,32%.PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (ADMF) juga hanya memiliki free float 5%. Willy Dharma, Direktur Utama ADMF menyatakan, perusahaan sebenarnya belum memiliki rencana untuk menambah kepemilikan saham publik."Kita tunggu aturannya, kalau memang harus demikian tentu perusahaan harus mematuhinya," kata Willy kepada KONTAN.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News