BEI kembali coret satu emiten



JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) telah mencoret paksa (delisting) dua emiten di tahun ini. Kedua emiten tersebut, PT Amstelco Indonesia Tbk (INCF) dan PT Panasia Filament Inti Tbk (PAFI). Keduanya dianggap tidak memperbaiki kinerja keuangan dan tak punya rencana bisnis yang jelas.

Hoesen Direktur Penilaian Perusahaan BEI mengatakan, masih menunggu dan mengawasi beberapa rencana bisnis emiten lain yang juga terancam delisting. "Kalau PAFI efektif delisting," ujar Hoesen, Jumat (15/3).

Emiten lain itu adalah PT Central Proteinaprima Tbk (CPRO), PT Siwani Makmur Tbk (SIMA), PT Indo Setu Bara Resources Tbk (CPDW), PT Panca Wiratama Sakti Tbk (PWSI) dan PT Berlian Laju Tanker Tbk (BLTA).


PAFI resmi delisting 14 Maret, emiten garmen yang kegiatan bisnisnya terhenti Juni 2012. Perseroan sudah menutup unit usaha tenun dan berencana beralih ke lini bisnis distributor semen. Namun, BEI menilai, langkah ini masih belum bisa menjamin prospek PAFI ke depan. Saham PAFI juga tergolong tidak likud karena porsi publik 0,08%. Sementara, pencoretan INCF pada 19 Februari.

Hoesen bilang, tenggat waktu efektif delisting emiten lain akan mulai pertengahan tahun ini. Beberapa diantaranya berencana merubah haluan bisnis. Seperti, CPDW dan PWSI yang ingin merubah lini bisnis dan CPRO masih berencana restrukturisasi. "CPDW mau ganti lini bisnis lagi. Kita lihat saja. Kalau PAFI memang sudah tidak ada usahanya," jelas dia.

Meski delisting, BEI tidak menghapuskan kewajiban yang belum dipenuhi emiten. Hoesen bilang, perusahaan yang sudah delisting bisa mencatatkan sahamnya lagi di BEI (relisting) paling cepat enam bulan sejak delisting.

BEI tidak dapat berbuat banyak terhadap nasib saham investor. Menurut Hoesen, investor yang menggenggam saham perusahan delisting masih bisa menjadi pemegang saham perusahaan. "Ya mereka kan tetap jadi pemegang saham walaupun tidak sebagai perusahaan tercatat di bursa. Tetapi bisa jadi suatu saat akan listing lagi," jelas Hoesen.

BEI tunggu progres BLTA

Ada angin segar bagi BLTA. Emiten yang tersandung kasus gagal bayar itu akhirnya bebas pailit. Akhirnya, mayoritas kreditur separatis dan konkuren BLTA menyetujui rencana restrukturisasi. Meski lepas dari jurang kepailitan, BEI belum menentukan nasib BLTA.

"Bagus kalau akhirnya kasus hukum BLTA selesai, namun kami masih menunggu beberapa laporan, jadi masih akan dipelajari soal BLTA," ujar Hoesen. BEI pun belum akan mencabut suspensi BLTA sampai seluruh dokumen dan penjelasan rinci diterima BEI. BLTA terkena suspensi sejak 25 Januari 2012.

Ketidakpastian ini membuat investor makin cemas. Soalnya kepemilikan saham publik BLTA mencapai 62,01%.

Kepala Riset Universal Broker Indonesia, Satrio Utomo mengatakan, delisting risiko investor. BEI tidak bisa berbuat banyak menghindari kerugian akibat delisting. Tapi sebaiknya BEI memberi tenggat bagi investor menjual saham sebelum delisting apalagi jika saham publik besar. "Yang beli bisa dari sisi emiten sendiri atau standby buyer, namun itu akan sulit sekali. Akhirnya hal ini menjadi resiko investasi sendiri," ujarnya.

Emiten yang akan didepak BEI memang emiten kurang sehat. "Ini harus menjadi pembelajaran agar investor tetap berhati-hati dan jangan trading berdasarkan rumor," saran Satrio. Harapan satu-satunya investor adalah menunggu perusahaan relisting. Selain BLTA, perusahaan memiliki porsi saham publik besar diantaranya CPRO 51,07% dan SIMA 35,11%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Avanty Nurdiana