Beijing: Taiwan Bukan Ukraina dan Akan Selalu Jadi Bagian Tak Terpisahkan dari China



KONTAN.CO.ID - BEIJING/TAIPEI. Kementerian Luar Negeri China pada Rabu (23/2/2022) menegaskan, Taiwan "bukan Ukraina" dan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari China. Hal tersebut diungkapkan ketika Presiden Taiwan Tsai Ing-wen menyerukan pulau itu untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap kegiatan militer sebagai tanggapan krisis.

Melansir Reuters, pernyataan Kemenlu China muncul setelah Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menandai risiko bagi Taiwan dalam peringatan pekan lalu tentang konsekuensi dunia yang rusak jika negara-negara Barat gagal memenuhi janji mereka untuk mendukung kemerdekaan Ukraina.

China, yang mengklaim Taiwan sebagai wilayahnya sendiri, telah meningkatkan aktivitas militer di dekat pulau yang memiliki pemerintahan sendiri selama dua tahun terakhir, meskipun Taiwan telah melaporkan tidak ada manuver yang tidak biasa baru-baru ini oleh pasukan China karena ketegangan atas Ukraina telah meningkat.


Berbicara di Beijing, juru bicara Kementerian Luar Negeri Hua Chunying menolak adanya hubungan antara masalah Ukraina dan Taiwan.

Baca Juga: Presiden Taiwan Minta Militer Tingkatkan Kesiagaan, Begini Respons China

"Taiwan bukan Ukraina," katanya. "Taiwan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari China. Ini adalah fakta hukum dan sejarah yang tak terbantahkan."

Hua menambahkan, masalah Taiwan adalah salah satu yang tersisa dari perang saudara, tetapi integritas China seharusnya tidak pernah dikompromikan dan tidak pernah dikompromikan.

Pemerintah Republik Tiongkok yang kalah melarikan diri ke Taiwan pada tahun 1949 setelah mengalami kekalahan perang saudara dari Komunis, untuk kemudian mendirikan Republik Rakyat Tiongkok.

Pemerintah Taiwan sangat menentang klaim teritorial China. Tsai mengatakan Taiwan adalah negara merdeka bernama Republik China, yang tetap menjadi nama resmi Taiwan.

Baca Juga: Konflik Rusia-Ukraina Merembet ke Polemik Seteru China-Taiwan, Ada Seruan Kewaspadaan

"Semua unit keamanan dan militer harus meningkatkan pengawasan dan peringatan dini tentang perkembangan militer di sekitar Selat Taiwan," kata Tsai dalam pertemuan kelompok kerja tentang krisis Ukraina yang dibentuk oleh Dewan Keamanan Nasionalnya.

Taiwan dan Ukraina pada dasarnya berbeda dalam hal geostrategi, geografi, dan rantai pasokan internasional, tambahnya.

"Tetapi dalam menghadapi pasukan asing yang berniat untuk memanipulasi situasi di Ukraina dan mempengaruhi moral masyarakat Taiwan, semua unit pemerintah harus memperkuat pencegahan perang kognitif yang diluncurkan oleh pasukan asing dan kolaborator lokal," kata Tsai seperti dikutip Reuters.

Pernyataan itu tidak menyebut nama China. Namun negara tersebut merupakan ancaman militer paling signifikan yang dihadapi Taiwan.

Tsai telah menyatakan "empati" untuk situasi Ukraina karena menghadapi pula ancaman militer dari China.

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie