Bejo berhasil mendunia berkat miniatur kehidupan desa



Masa kecil yang sederhana di desa, ternyata bisa menjadi sumber inspirasi untuk menggapai sukses. Berkat kreativitas mengolah pengalaman menjadi sebuah miniatur dari kayu, Bejo Wage Suu sukses menjadi pengusaha beromzet ratusan juta rupiah.Bagi wisatawan, terutama wisatawan asing, kerajinan tangan Jopajapu merupakan karya seni miniatur yang menawan. Sementara itu, bagi Bejo Wage Suu, penciptanya, Jopajapu adalah miniatur kehidupan yang telah membawanya pada kesuksesan.Di mata lelaki yang bernama asli Maryono ini, kenangan masa kecil dan kehidupan sehari-hari yang sederhana memberikan ide untuk menghasilkan karya seni liping dari limbah kayu pinus. Dengan harga satuan sekitar Rp 50.000, dalam sebulan, ia mampu menghasilkan 5.000 lebih miniatur Jopajapu, sebagian besar dia ekspor. Bejo tak pernah membayangkan bisa sukses seperti sekarang. Sejak kecil, anak kedua dari empat bersaudara ini rela makan apa adanya agar bisa bersekolah. “Saya biasa makan nasi dengan lauk minyak jelantah bekas goreng ikan asin,” kenangnya sambil tertawa.Maklum, ayahnya hanyalah seorang buruh pabrik batik dan ibunya penjahit upahan. Ayah Bejo bertekad, dalam kondisi sesusah apa pun, anak-anaknya harus tetap sekolah. Bejo pun bersekolah hingga STM (sekolah teknik menengah). Usaha Bejo bertahan hidup juga patut dipuji. Ketika remaja, ia bekerja memberi makan ternak di peternakan kakeknya di Laweyan, Solo, dengan upah dibayari sekolah. Selulus STM, bermodal Rp 15.000 hasil pemberian kakeknya, pria kelahiran Sukoharjo, 29 Juli 1974, ini merantau ke Batam. Lantaran bekalnya habis, Bejo diturunkan di Riau. Di sana, ia ditolong orang yang mengajaknya bekerja sebagai tukang las tangki kimia di tengah hutan Sumatra. Selama sebulan, Bejo belajar mengelas. Tapi, enam bulan kemudian, ia tak tahan dan ingin kembali ke Solo. “Di tengah hutan, isinya buronan semua. Setiap hari ada yang berantem dan selalu ada yang mati,” kata dia. Balik ke Solo, Bejo bekerja sebagai tukang las. Saat order las sepi, ia nyambi menjadi petugas sales kartu langganan derek. Setelah lima tahun bekerja serabutan, ia ingin bekerja sendiri. Kala itu, persisnya pada 1998, setiap hari Bejo pergi ke sungai, mencari inspirasi. Seringkali, ia dianggap gila lantaran kerap membawa sampah dari sungai ke rumah. Rupanya, saat itu, Bejo sedang punya ide membuat sebuah kerajinan tangan. Bermodalkan uang Rp 4.000 untuk membeli lem kayu, ia membuat pigura dari bambu dengan tambahan rumput-rumput kering, batu, hingga kepompong. Ia berhasil membuat sebanyak 50 pigura lantas dijual di pasar. Meski awalnya tak ada yang melirik, lama-lama piguranya laku juga. Dalam sebuah acara Sekatenan di Yogyakarta, orang-orang membeli pigura Bejo seharga Rp 10.000 sampai Rp 15.000 per item. Bermodal hasil penjualan itu, Bejo membuat pigura dengan tambahan patung orang. Ia juga membuat miniatur aktivitas orang-orang di desa yang terekam dalam pikirannya, dengan media kayu dari kotak telur pemberian tetangga. Lantaran banyak peminat, pada 2002, Bejo mulai fokus membuat miniatur. Dari yang tadinya hanya berupa siluet orang, ia mulai membentuk wajah dan menghiasi dengan pakaian tradisional semisal blangkon dan batik. “Prosesnya lambat. Satu inovasi butuh satu tahun,” kata dia. Bejo menawarkan miniatur itu ke pasar dan toko-toko di sepanjang Jl. Malioboro, Yogyakarta. Tapi, responsnya negatif. Ia mencoba menawarkan karyanya dari pintu ke pintu. Setiap penolakan tak membuatnya putus asa karena dia yakin miniaturnya punya nilai jual. Ekspor ke Hawaii Pada 2004, Bejo mendapatkan momentum dalam perjalanan usahanya. Dia diajak ikut Festival Keraton Nusantara. Hasilnya, miniatur yang diberi nama Jopajapu mendapat apresiasi tinggi dari pengunjung. Semua karyanya laku diborong dengan harga jual Rp 10.000 sampai Rp 15.000 per item. Bejo makin bersemangat membuat Jopajapu. Semua pengalaman masa kecil dan kehidupan di kampung dia tumpahkan dalam miniatur. Kebanyakan merupakan miniatur kegiatan masyarakat di desa, seperti petani membajak sawah, pembuat batik, pengangkut jerami, peternak itik, hingga anak-anak bermain congklak. Lantaran makin disukai dan laris, harga Jopajapu buatan Bejo naik menjadi Rp 50.000 per buah. Omzet pun melesat dari Rp 200.000 per bulan menjadi Rp 10 juta.Di bengkel produksi di Laweyan, Solo, kini Bejo bekerja dibantu empat karyawan. Saban bulan, ia mampu memproduksi 5.000 Jopajapu. Sebanyak 3.000 Jopajapu di antaranya dia pasarkan ke Hawaii, Amerika Serikat. Sisanya, 2.000 untuk memenuhi permintaan lokal.Dengan harga jual Rp 50.000 per item untuk pasar lokal, Bejo mengantongi omzet Rp 100 juta per bulan. Omzet itu sebanding dengan uang yang dia dapat dari ekspor. Dia menjual Jopajapu US$ 3 per item.Bejo juga pernah membuat Jopajapu berupa papan catur Bharatayudha seharga Rp 10 juta per item.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Tri Adi