JAKARTA. Krisis listrik tak menghalanig petambak udang yang dulu menjadi mitra PT Aruna Wijaya Sakti tetap berproduksi. Buktinya, sebagian petambak sudah panen untuk kedua kalinya.Towilun, salah seorang petambak, mengungkapkan, setiap hari dari sekitar 7.225 petambak menghasilkan 20 ton udang. "Jumlah itu yang terdeteksi oleh kami, terkadang mereka juga tidak melapor," ujar Towilun yang juga Ketua LMPK Kampung Bumi Dipasena Utama kepada KONTAN (7/12).Towilun mengakui, angka produksi ini memang tidak sebagus sewaktu menjadi mitra PT Central Proteinaprima Tbk (CP Prima), induk Aruna Wijaya Sakti. Ini lantaran para petambak mengembangkan produksi secara tradisional.Jika pada saat menjadi mitra PT CP Prima, petambak bisa menebar sekitar 100.000 benur, kini mereka hanya mampu menebar setengahnya. "Hal ini kami sesuaikan dengan sarana dan prasarana yang ada," ucapnya.Para petambak juga mengembangkan jenis udang lain saat ini. Bila dulu mereka hanya mengembangkan udang jenis vaname(Litopenaues vannamei) maka serang jenis windu.Cuma petambak merasa bersyukur karena harga jual lebih baik. Towilun mengungkapkan, harga udang vaname saat ini Rp 44. 000 per kilogram (kg) atau lebih tinggi 29,41% dibandingkan saat bermitra dengan CP Prima. Ketika itu, harga udang hanya dibanderol Rp 34.000 per kg. Sedangkan, harga udang windu sedikit lebih mahal ketimbang jenis vaname yakni sebesar Rp 65.000 per kg.Hal ini dibenarkan petambak lainnya. "Meski saat ini kami harus melakukan segalanya sendiri, namun keuntungan menjadi jauh lebih baik," ungkap Mujiono.Mujiono mengakui, hasil panen pertamanya belum maksimal. Dari 20.000 benur yang ditebarkannya, dia hanya memperoleh keuntungan sekitar Rp 3 juta-Rp 4 juta. "Namun hasil ini lebih baik dari pada saat bermitra dengan PT CP Prima," ujar Mujiono tanpa merinci.Untuk penebaran yang kedua, Mujiono optimis lebih baik. Pasalnya, dia sudah bisa mengatasi masalah listrik. Ia memperkirakan dari 120.000 tebaran benur itu, keuntungan kotor yang diperolehnya bisa mencapai Rp 67 juta. Sementara biaya produksi yang dibutuhkan mencapai Rp 15 juta-Rp 20 juta. Dana tersebut digunakan untuk pembelian benur pakan dan BBM.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Bekas mitra CP Prima sudah mulai panen udang sebesar 20 ton setiap hari
JAKARTA. Krisis listrik tak menghalanig petambak udang yang dulu menjadi mitra PT Aruna Wijaya Sakti tetap berproduksi. Buktinya, sebagian petambak sudah panen untuk kedua kalinya.Towilun, salah seorang petambak, mengungkapkan, setiap hari dari sekitar 7.225 petambak menghasilkan 20 ton udang. "Jumlah itu yang terdeteksi oleh kami, terkadang mereka juga tidak melapor," ujar Towilun yang juga Ketua LMPK Kampung Bumi Dipasena Utama kepada KONTAN (7/12).Towilun mengakui, angka produksi ini memang tidak sebagus sewaktu menjadi mitra PT Central Proteinaprima Tbk (CP Prima), induk Aruna Wijaya Sakti. Ini lantaran para petambak mengembangkan produksi secara tradisional.Jika pada saat menjadi mitra PT CP Prima, petambak bisa menebar sekitar 100.000 benur, kini mereka hanya mampu menebar setengahnya. "Hal ini kami sesuaikan dengan sarana dan prasarana yang ada," ucapnya.Para petambak juga mengembangkan jenis udang lain saat ini. Bila dulu mereka hanya mengembangkan udang jenis vaname(Litopenaues vannamei) maka serang jenis windu.Cuma petambak merasa bersyukur karena harga jual lebih baik. Towilun mengungkapkan, harga udang vaname saat ini Rp 44. 000 per kilogram (kg) atau lebih tinggi 29,41% dibandingkan saat bermitra dengan CP Prima. Ketika itu, harga udang hanya dibanderol Rp 34.000 per kg. Sedangkan, harga udang windu sedikit lebih mahal ketimbang jenis vaname yakni sebesar Rp 65.000 per kg.Hal ini dibenarkan petambak lainnya. "Meski saat ini kami harus melakukan segalanya sendiri, namun keuntungan menjadi jauh lebih baik," ungkap Mujiono.Mujiono mengakui, hasil panen pertamanya belum maksimal. Dari 20.000 benur yang ditebarkannya, dia hanya memperoleh keuntungan sekitar Rp 3 juta-Rp 4 juta. "Namun hasil ini lebih baik dari pada saat bermitra dengan PT CP Prima," ujar Mujiono tanpa merinci.Untuk penebaran yang kedua, Mujiono optimis lebih baik. Pasalnya, dia sudah bisa mengatasi masalah listrik. Ia memperkirakan dari 120.000 tebaran benur itu, keuntungan kotor yang diperolehnya bisa mencapai Rp 67 juta. Sementara biaya produksi yang dibutuhkan mencapai Rp 15 juta-Rp 20 juta. Dana tersebut digunakan untuk pembelian benur pakan dan BBM.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News