Orang bijak mengatakan, saat-saat sulit memberikan kesempatan kita untuk belajar banyak hal. Persis, sikap inilah yang harus kita ambil menghadapi krisis mata uang rupiah yang tengah terjadi akhir-akhir ini. Tentu saja, kita sambil tetap berupaya mencari bauran langkah terbaik agar tren pelemahan nilai tukar rupiah tidak berlanjut. Pekan lalu, banyak pelaku pasar finansial maupun pebisnis di tanah air cemas melihat pergerakan liar nilai tukar rupiah. Pasalnya, menembus level psikologis Rp 15.000 per dolar AS, ternyata, tak lantas membuat pelemahan rupiah terhenti. Dengan cepat, rupiah justru terus terpuruk hingga melewati Rp 15.100 per dollar AS. Usut punya usut, seperti dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani, episentrum gempa rupiah pekan ini ternyata bukan berasal dari Amerika Serikat (AS) seperti sebelumnya, melainkan dari Italia. Sedikit mengingatkan, sejak awal tahun lalu, normalisasi kebijakan moneter Amerika menjadi pemicu utama pelemahan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. Singkat kata, pengetatan kebijakan moneter AS yang ditempuh The Fed (bank sentral AS) dengan menaikkan bunga acuan telah membuat miliaran dollar dana-dana panas pulang kampung ke Amerika. Maklum, di saat bunga tinggi, memegang aset dalam dollar kian menarik. Di saat yang sama, kondisi ekonomi Amerika juga menujukkan pemulihan yang meyakinkan.
Belajar dari Italia
Orang bijak mengatakan, saat-saat sulit memberikan kesempatan kita untuk belajar banyak hal. Persis, sikap inilah yang harus kita ambil menghadapi krisis mata uang rupiah yang tengah terjadi akhir-akhir ini. Tentu saja, kita sambil tetap berupaya mencari bauran langkah terbaik agar tren pelemahan nilai tukar rupiah tidak berlanjut. Pekan lalu, banyak pelaku pasar finansial maupun pebisnis di tanah air cemas melihat pergerakan liar nilai tukar rupiah. Pasalnya, menembus level psikologis Rp 15.000 per dolar AS, ternyata, tak lantas membuat pelemahan rupiah terhenti. Dengan cepat, rupiah justru terus terpuruk hingga melewati Rp 15.100 per dollar AS. Usut punya usut, seperti dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani, episentrum gempa rupiah pekan ini ternyata bukan berasal dari Amerika Serikat (AS) seperti sebelumnya, melainkan dari Italia. Sedikit mengingatkan, sejak awal tahun lalu, normalisasi kebijakan moneter Amerika menjadi pemicu utama pelemahan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. Singkat kata, pengetatan kebijakan moneter AS yang ditempuh The Fed (bank sentral AS) dengan menaikkan bunga acuan telah membuat miliaran dollar dana-dana panas pulang kampung ke Amerika. Maklum, di saat bunga tinggi, memegang aset dalam dollar kian menarik. Di saat yang sama, kondisi ekonomi Amerika juga menujukkan pemulihan yang meyakinkan.