Belajar dari juragan buah dan bunga di Taiwan (3)



KONTAN.CO.ID - Melancong ke wisata pertanian alias agrowisata di Taiwan tak sekadar melepas penat. Kreativitas pemilik kebun menyulap lahan sederhana menjadi leisure farm memberikan pelajaran berharga.

Kemahiran itu tergambar di tiga destinasi terakhir yang saya sambangi dalam media trip bersama Taiwan Leisure Farm Development Association (TLFDA), akhir September lalu. Lebih menarik lagi, ketiga agrowisata itu menghasilkan produk olahan dari hasil kebun sendiri.

Sabtu pagi, saya dan rekan-rekan jurnalis dari Indonesia memulai trip hari terakhir dengan menyambangi Dapingding Passion Fruit Orchard, perkebunan markisa di Distrik Puli, Nantou County. Lantaran masih berada dalam county (kabupaten) yang sama dengan Ta-Yi Ecological Farm, kami hanya membutuhkan sekitar 30 menit untuk tiba di lokasi.


Sekadar mengingatkan, Ta-Yi Ecological Farm adalah lokasi penginapan kami sebelumnya yang terletak di Puli Town. Baca: Terhipnotis padang rumput dan hutan di Taiwan (2)

Setiba di Dapingding Passion Fruit Orchard, kami disambut Jori, generasi kedua pemilik kebun markisa. Perempuan 33 tahun ini menemani kami menjajal salah satu petak kebun yang berbuah ranum. Namun, di petak yang kami sambangi ini, mayoritas buah masih belum matang.

Jori bercerita, perkebunan markisa seluas 5 hektare ini sudah dirintis orang tuanya sejak 1995 silam. Nah, sejak diserahkan ke tangan Jori dan sang kakak, mereka mengemas kebun menjadi lokasi wisata.

“Saya menangani marketing, kakak mengurus tanaman,” tuturnya. Di tangan Jori, sudah empat tahun terakhir, Dapingding Passion Fruit Orchard kerap disambangi turis. Selain dari domestik, pengunjung juga datang dari Singapura, Malaysia hingga Jepang.

Sejatinya, tak banyak yang dipoles. Lokasi kebun dibiarkan alami sebagaimana umumnya. Namun, petak-petak kebun di sini sudah tertata rapi dan jalan menuju lokasi cukup lebar dan nyaman. Hanya, Jori lebih aktif berpromosi salah satunya melalui media sosial. Bagi turis, ia menawarkan wisata petik buah.

Untuk masuk ke lokasi perkebunan, setiap pengunjung cukup membayar tiket seharga NTD 100 atau setara Rp 45.000. Tiket sudah termasuk free buah markisa senilai NTD 50. Markisa segar di kebun ini dihargai NTD 70 atau sekitar Rp 31.000 per 600 gram.

“Setiap musim panen, kebun ini menghasilkan rata-rata 100.000 ton markisa,” ujar Jori. Musim panen markisa berlangsung sepanjang Agustus hingga Januari.

Dari kebun, kami diajak ke gudang tempat pemilahan buah. Di sini, markisa segar kualitas terbaik disortir, lalu dikemas dalam kotak. Buah segar ini dipasok ke pasar domestik. Namun, tahun lalu, Jori berkesempatan mengekspor markisa segar ke Kanada.

        

Nah, buah yang tak masuk 'kualifikasi', diolah menjadi produk olahan, seperti jelly, es krim, juice dan permen. Tapi, tak cukup dari hasil kebun sendiri, Jori menampung hasil panen dari kebun lain untuk diolah. Di Distrik Puli ini terdapat total 300 ha kebun markisa.

Di salah satu sisi gudang, ada ruang pengolahan yang sederhana. Dengan semacam alat pencungkil, enam orang karyawan cekatan memisahkan daging buah markisa dari cangkangnya. Inilah yang nantinya diolah menjadi jelly maupun permen.

Saat high seasons, Dapingding bisa menghasilkan rata-rata 500 kotak produk olahan sebulan. Tapi, low seasons hanya sekitar 200 kotak. Produk olahan seperti fruit jelly dibanderol NTD 150 per kilogram, sedangkan permen dihargai NTD 150 per 288 gram.

“Kami sedang negosiasi dengan Korea dan China untuk ekspor produk olahan,” ucap Jori.

          

Lepas tengah hari, kami mengakhiri tour di Dapingding. Tentunya, setelah cukup puas mencicipi buah segar hingga olahan markisa. 

Dari Dapingding, kami bergeser ke Puxin Township, Changhua County. Tujuan kami, Magical Mushrooms Tribe. Perjalanan menuju lokasi sekitar 1 jam. Ini tempat yang tepat bagi pecinta jamur.

Sekitar 25 tahun silam, lahan seluas 5 ha ini merupakan tempat pengembangbiakan dan penyedia induk jamur (strain). Namun, mulai 2009, perkebunan jamur ini disulap menjadi fasilitas rekreasi bermuatan pendidikan. Kegiatan produksi jamur hingga pengemasan terbuka bagi publik.

Di sini, pengunjung bisa mengikuti tur produksi jamur. Pemandu profesional akan memandu perjalanan di gudang produksi, sehingga dapat melihat lebih dekat bagaimana jamur tumbuh. Hari itu, Mr. Fang, salah satu pimpinan sekaligus generasi kedua pemilik Magical Mushrooms Tribe, yang memandu kami.

Sebelum tur dimulai, kami diminta mengenakan tutup kepala dan kaki. Tak hanya itu, tubuh kami melalui proses desinfeksi di ruangan khusus yang kami lewati sebelum masuk ke ‘pabrik’ jamur.

Suhu dingin langsung terasa saat kami memasuki tempat produksi. Di sini, suhu, kelembaban, dan cahaya diatur konsisten supaya jamur tumbuh optimal dan kualitasnya stabil. Fang menguraikan satu demi satu proses produksi. Informasi penting semacam ini menjadikan Magical Mushroom kerap jadi rujukan bagi anak TK, pelajar hingga lembaga pemerintah yang ingin melihat langsung pembuatan jamur.

Di gudang produksi, saya dibuat takjub dengan deretan jamur aneka bentuk dan warna menarik. Misalnya golden mushroom yang berwarna kuning, dan pink rose mushroom yang berwarna merah muda. Jamur yang populer di pasaran juga diproduksi di sini, seperti enoki, shitake, eryngii, silver ear, dan king oyster. Ada pula ganoderma atau lingzhi yang bisa diolah menjadi obat.

“Yang termahal ganoderma, harganya NTD 1 per gram,” kata Fang.

Magical Mushroom bisa menghasilkan 500-600 ton jamur per musim (tiga bulan). Pasarnya global, sampai Australia, Hong Kong dan Singapura. Selain tur produksi jamur, pengunjung yang penasaran mencicipi aneka jamur yang terlihat cantik tadi, bisa menikmatinya di restoran Magical Mushroom.

Selain jamur segar, agrowisata ini menghasilkan aneka olahan jamur berupa produk kosmetik, teh hingga kopi. Produk olahan ini menaikkan nilai jual jamur sekaligus alternatif lain cara menikmati jamur.

Fang bilang, tempat ini ramai pengunjung pada September hingga Mei. Tak heran, kami bisa melihat sejumlah wahana dipenuhi pengunjung, yang didominasi anak-anak. Sebagai daya tarik, Magical Mushroom memang menyiapkan area bermain bagi anak-anak.

Usai merasakan langsung dunia jamur, kami melanjutkan trip menuju wilayah utara Taiwan. Destinasi terakhir, Flower Home Leisure Farm di Distrik Zhuo Lan, Miaoli County. Kami menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam untuk tiba di lokasi.

Kesan asri terlihat ketika tiba di agrowisata ini. Flower Home dikelilingi pepohonan rimbun layaknya kebun. Beragam bunga menyambut kami ketika mulai menapaki bagian dalam lokasi. Memang, bunga dan tanaman herbal jadi andalan agrowisata ini.

Pemilik Flower Home Chen Ji Neng bercerita, 30 tahun silam, tempat ini adalah perkebunan tangerine alias jeruk mandarin. Namun, sejak Chen membeli lokasi ini, ia menyulapnya menjadi perkebunan bunga. Pria kelahiran 57 tahun silam ini memulai usaha dengan mengembangkan aneka jenis bunga. Berbagai varietas baru dihasilkan di tempat ini.

Salah satu yang tertangkap mata saya adalah kastuba pink. Biasanya, bunga yang dikenal dengan sebutan Christmas flower ini hanya berwarna merah dan putih kekuningan. Satu pot bibit bunga kastuba pink dihargai NTD 90 atau setara Rp 40.000.

 

Sukses berbisnis bunga, Chen mengembangkan kebun herbal serta tanaman penghasil essential oil (minyak atsiri). Tak hanya itu, ia menyulap kebun menjadi leisure farm dengan membangun penginapan.

Bagi tamu, ia menawarkan aktivitas menarik, seperti membuat sendiri olahan produk dari tanaman. Nah, untuk menikmati suasana kebun bunga dan menjajal pengalaman membuat olahan produk herbal, setiap pengunjung harus membayar tiket masuk NTD 100 atau Rp 45.000.

Sore itu, Chen membawa kami mengenal lebih dekat Flower Home. Sesekali, langkah terhenti, karena ia mengenalkan kami dengan sejumlah tanaman yang tumbuh menyebar di lokasi. Tanaman-tanaman itu adalah penghasil minyak atsiri, seperti rosemary, lavender, dan marigold.

Oh iya, Flower Home kini menghasilkan aneka produk, mulai dari kosmetika hingga obat-obatan herbal. Kami, berkesempatan membuat langsung cairan anti nyamuk. Bahan-bahannya sederhana, hanya beberapa tangkai rosemary, air steril, alkohol dan botol sebagai wadah. Hanya memakan waktu sekitar 15 menit untuk mempraktekannya.

“Cairan anti nyamuk ini bisa dipakai setelah 10 hari dari sekarang,” kata salah satu karyawan Flower Home. Kami diperbolehkan membawa pulang hasil karya tangan kami.

       

Selain bunga dan minyak atsiri, di lahan seluas 3,52 ha ini, tersedia 18 kamar dengan interior unik dan alami. Lokasinya dikelilingi pepohonan rimbun. Pencahayaan dibuat temaram, sehingga berkesan seperti di tengah hutan. Ingin menginap, pengunjung harus membayar berkisar NTD 3.800 hingga NTD 7.000 semalam.

Di kamar bergaya natural inilah, kami melepas lelah sekaligus mengakhiri petualangan tiga hari di Taiwan. Wangi aroma terapi menyambut kami ketika memasuki kamar. Suasana rileks semakin lengkap dengan fasilitas bathtub untuk berendam dan perlengkapan mandi yang terbuat dari bahan herbal. Ini paduan yang tepat untuk menyegarkan kembali tubuh kami, sebelum terbang menuju Tanah Air, keesokan hari. (Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini