Belajar dari kasus SNP Finance, OJK atur pengawasan MTN



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri multifinance menghadapi tantangan besar di tahun ini. Salah satu penyebabnya, kasus gagal bayar SNP Finance yang tahun lalu terkuak, membuat investor lebih berhati-hati berinvestasi di surat utang jangka menengah atau medium term notes (MTN) yang diterbitkan perusahaan multifinance.

Nah, salah satu upaya agar investor kembali percaya berinvestasi di industri, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan aturan baru penerbitan MTN. Dengan aturan ini diharapkan tidak ada lagi potensi terjadinya fraud dan penyelewengan dana hasil penerbitan surat utang tersebut.

Dalam kasus ini, SNP Finance disinyalir memanipulasi laporan keuangan sehingga mendapatkan rating baik untuk penerbitan MTN. Dengan kondisi keuangan yang bermasalah, perusahaan akhirnya gagal membayarkan bunga jatuh tempo kepada pemegang MTN.


Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK 2B Bambang W. Budiawan mengungkapkan, penerbitan aturan ini bukan hanya dilatarbelakangi oleh satu atau dua kasus penerbitan surat utang. Tapi aturan ini menjadi strategi otoritas mendorong multifinance menguatkan pengelolaan aset dan liability management (ALMA).

“Serta meningkatkan kualitas manajemen risiko likuiditas, risiko pendanaan dan risiko pembiayaan,” kata Bambang kepada Kontan.co.id, Selasa (22/1).

Menurutnya, multifinance adalah perusahaan non deposit, di mana industrinya tidak dilengkapi dengan skema funding insurance. Berbeda dengan perbankan yang mempunyai Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Maka itu, menurut dia, harus dipastikan terkait struktur pendanaan multifinance yang pas dengan model bisnis pembiayaan. Dalam hal ini, penerbitan MTN yang masuk dalam rencana bisnis perusahaan akan dimonitor oleh OJK, baik secara berkala maupun sewaktu-waktu.

Aturan ini termuat dalam Peraturan OJK Nomor 35/POJK.05/2018 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan. Secara umum, aturan ini mengatur mengenai disclosure, yaitu informasi-informasi yang wajib diungkapkan oleh perusahaan multifinance yang menerbitkan MTN.

Hal ini dimaksudkan agar investor mendapatkan informasi yang cukup sebelum memutuskan berinvestasi di MTN. Selain itu, melalui aturan ini akan memperkuat kewenangan OJK untuk mengatur penerbitan MTN oleh perusahaan publik. Selama ini, penerbitan MTN hanya perlu izin dari pasar modal.

“Selama ini belum ada. Jadi aturan ini akan mengatur produk dan aktivitas MTN, yang skema kerjanya mirip seperti bank. Secara umum, aturan ini membahas aktivitas penerbitan MTN, obligasi, aksi korporasi serta apapun yang mempengaruhi neraca perusahaan,” jelas dia.

Kehadiran aturan tersebut diharapkan bisa memastikan industri multifinance menjalankan rencana bisnis sesuai kondisi makro dan mikro. Serta tak lupa, memperhatikan aspek mitigasi risiko.

Dalam aturan ini, mengatur penerbitan efek melalui penawaran umum serta penerbitan efek bersifat utang tapi tidak melalui penawaran umum. Pada pasal 72, menyebutkan bahwa penerbitan efek melalui penawaran umum harus dilaporkan ke OJK paling lambat tiga bulan sebelum pemegang saham menyetujui aksi korporasi.

Adapun syarat yang dipenuhi, berupa rencana penerbitan efek yang telah dimasukan dalam rencana bisnis perusahaan, kemudian memiliki tingkat kesehatan keuangan dengan kondisi minimum sehat, serta memiliki tingkat risiko minimum dan memenuhi ketentuan gearing ratio.

Selain itu, perusahaan harus menyampaikan laporan dari penggunaan dana yang diperoleh, riwayat penerbitan efek, proyeksi laporan keuangan, informasi mengenai kejadian dan transaksi penting setelah tanggal laporan keuangan telah diaudit oleh kantor akuntan publik, serta pernyataan dari direksi perusahaan pembiayaan. Dan terakhir, surat pernyataan manajemen di bidang akutansi.

Sedangkan pasal 75, menjelaskan bahwa penerbitan efek bersifat utang tidak melalui penawaran umum wajib dilaporkan ke OJK, paling lambat enam bulan sebelum penerbitan. Syaratnya hampir sama dengan penerbitan efek melalui penawaran umum, dengan tambahan pemenuhan ekuitas perusahaan lebih dari Rp 200 miliar.

Sementara laporan yang harus disampaikan juga hampir sama dengan penerbitan efek melalui penawaran umum. Yang membedakan, adalah pemenuhan dokumen contoh surat efek bersifat utang, rencana memorandum informasi yang akan ditawarkan, riwayat penerbitan efek sebelumnya, rencana memorandum informasi yang ditawarkan.

Selain itu, perusahaan juga harus melaporkan rencana pemeringkat efek bersifat utang dan agen monitoring yang digunakan serta surat pernyataan manajemen di bidang akuntansi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi