JAKARTA. Polemik pemanfaatan dana haji belakangan ini dinilai tak seharusnya terjadi. Polemik itu dampak dari permasalahan komunikasi pemerintah dengan masyarakat. Pasalnya pemerintah terkesan ingin memanfaatkan dana haji untuk pendanaan secara langsung pembangunan infrasruktur. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyatakan, sebenarnya pemanfaatan dana haji sudah terjadi sejak tahun 2013. Namun yang selama ini dilakukan melalui instrumen sukuk. Per Juli 2017, total dana haji yang masuk ke instrumen Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI) sudah mencapai Rp 36,69 triliun. Namun terlepas dari situasi polemik tersebut, kata Bhima penggunaan dana haji tetap perlu dikritisi. Hal ini dikarenakan rentan disalahgunakan untuk tujuan jangka pendek pemerintah. Kecemasan ini menurut Bhima merupakan hal yang logis.
Pasalnya, tahun 2018-2019 Pemerintah akan agresif menerbitkan sukuk baru untuk menutup defisit anggaran. Mengingat tahun tersebut merupakan jatuh tempo utang Pemerintah sebesar Rp 810 triliun. Sementara disisi lain tren defisit anggaran terus melebar bahkan dalam APBN-P 2017 diproyeksi tembus 2,92% atau mendekati batas aman 3%. "Pemerintah dikhawatirkan akan menggunakan sukuk dana haji untuk menutup sebagian utang jatuh tempo tersebut," kata Bhima, Minggu (6/8). Bhima menyatakan Indonesia bisa belajar dari pengalaman Malaysia yang sudah lama menggunakan dana haji untuk pembangunan. Dari total jumlah dana haji Malaysia yang tercatat sebesar Rp198,5 triliun, sebesar 9% masuk ke real estate berupa investasi langsung. Sedangkan 17% penempatan dana obligasi juga dimanfaatkan untuk investasi tidak langsung dalam pembangunan properti atau jenis proyek konstruksi lainnya. Namun tabungan haji Malaysia tidak membangun Infrastruktur seperti diartikan oleh Pemerintah Indonesia saat ini. Melainkan membangun real estate dengan tingkat imbal hasil yang tinggi. Tabung Haji Malaysia membangun aneka properti yang memiliki keuntungan jangka panjang misalkan Hotel Tabung Haji di Keddah dan Bay Pavilions di Sydney. Kemudian, hasil keuntungan dari pengelolaan dana haji di Malaysia sebagian kembali lagi ke jamaah haji dalam bentuk subsidi. Data per 2015 misalnya mengungkap bahwa total subsidi biaya haji mencapai Rp 391,9 miliar. Awalnya jamaah haji di Malaysia membayar Rp53,7 juta rupiah kemudian diberi subsidi hingga Rp22,6 juta atau hampir 50% dari total biaya. Tabungan haji Malaysia mampu meraup pendapatan dari pengelolaan dana hingga Rp40,4 triliun di 2015. Sementara asetnya terus meningkat dalam 5 tahun terakhir mencapai Rp185 triliun. "Besarnya dana subsidi yang kembali ke jamaah haji berkaitan dengan performa manajemen investasi tabungan haji,"imbuhnya. Untuk itu, Indonesia bisa mencari solusi pemanfaatan dana haji bukan untuk membangun infrastruktur melainkan properti. Bhima bilang ini bisa berdampak langsung bagi jemaah haji Indonesia agar penyelenggaraan ibadah haji lebih berkualitas.
Ia bilang, dana haji dapat digunakan untuk membangun hotel atau apartemen di Mekkah yang bisa digunakan untuk kepentingan haji sehingga biaya naik haji bisa lebih murah. Tak hanya itu, properti tersebut juga bisa digunakan saat masa umrah. Yang tak kalah penting, transparasi pengelolaan dana haji juga menjadi faktor yang krusial. Bhima bilang, jangan sampai dana haji disalahgunakan oleh kepentingan politik jangka pendek. Kemudian manajemen investasi didalam BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) haruslah manajemen yang profesional. "Setidaknya dengan pengelolaan yang profesional, imbal hasil dana haji per tahunnya bisa lebih dari 15%,"pungkasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto