Belajar Dari Ukraina, Muda-Mudi Taiwan Siapkan Diri Jika Perang dengan China Meletus



KONTAN.CO.ID - Taiwan. Ketegangan hubungan dengan China menjadikan muda-mudi Taiwan siaga. Belajar dari penyerbuan Rusia ke Ukraina, muda-mudi Taiwan kini mempersiapkan diri jika terjadi perang dengan China.

Ketegangan hubungan China dan Taiwan sudah berlangsung lama dan tak kunjung mereda. Belakangan China semakin marah karena Ketua DPR AS Nancy Pelosi berkunjung ke Taiwan.

Beberapa warga Taiwan melihat narasi yang keluar dari media massa pemerintah China, terutama Global Times. Mereka menyimpulkan bahwa kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taiwan bisa berakhir dengan sangat buruk.


Beberapa pengamat China terkemuka yang berbasis di AS juga mengatakan hal yang sama. Mereka menyebut kunjungan Pelosi sembrono.

Mereka juga mewanti-wanti pemerintah AS agar tidak menyudutkan Beijing. Namun bukan hal-hal seperti itu yang dilihat warga Taiwan.

Freddy Lim mantan penyanyi musik heavy metal yang kini menjadi anggota parlemen partai yang berkuasa di Taiwan, menyatakan berbeda. Freddy sekarang selalu mengenakan potongan rambut pendek dan setelan profesional, tetapi kita masih bisa melihat tato di bawah lengan kemejanya yang rapi.

"Ada prinsip dasar bahwa kami menyambut politikus senior seperti Nancy Pelosi yang datang ke Taiwan. Ini sangat penting. Ini bukan provokasi terhadap China. Ini tentang menyambut seorang kawan dengan cara yang normal, sama seperti negara-negara lain," katanya kepada BBC.

Baca Juga: Kesal dan Geram, China Tembakkan 11 Rudal di Dekat Taiwan

Padangan ini disepakati oleh semua partai politik besar di Taiwan. Charles Chen adalah anggota parlemen untuk partai oposisi KMT (Kuomintang).

Dia pernah menjadi mantan juru bicara kepresidenan. "Saya pikir kali ini jika Ketua DPR AS Nancy Pelosi bisa datang ke Taiwan, itu akan menjadi waktu yang krusial bagi Amerika Serikat untuk menunjukkan dukungan kepada Taiwan, kepada demokrasi Taiwan," ujarnya.

Dari sudut pandang Taiwan, kedatangan politikus paling kuat ketiga di AS itu membawa makna simbolis yang sangat besar. Kedatangannya sekaligus bisa menormalkan kunjungan pejabat tingkat tinggi lainnya.

Taiwan berharap akan ada lebih banyak kunjungan serupa di masa depan. Kunjungan pejabat tinggi AS yang terakhir terjadi pada 25 tahun yang lalu.

Namun kunjungan Nancy Pelosi tidak mengubah fakta yang mendasar bahwa status Taiwan yang bebas dan demokratis sedang terancam. Semakin banyak orang sadar bahwa ancaman China untuk menyatukan kembali Taiwan, dengan paksa bila perlu adalah nyata.

Semakin banyak pula yang melihat bahwa kemampuan militer China sekarang sudah jauh melampaui Taiwan. Pekan lalu, Taiwan memamerkan kekuatan militernya dalam latihan selama lima hari menggunakan amunisi betulan serta manuver udara, dan angkatan laut yang disebut Han Kuang 38.

Bagi banyak pengamat, peristiwa itu adalah pertunjukan kekuatan militer modern yang mengesankan. Namun bagi para spesialis, itu menunjukkan seberapa jauh Taiwan ketinggalan dari China.

Tank, artileri, dan jet tempur Taiwan sudah tua, kapal angkatan laut mereka tidak punya sistem radar maupun rudal paling modern. Negara ini juga tidak memiliki kapal selam modern.

Nyaris tidak ada keraguan bahwa dalam pertarungan satu lawan satu, China akan mengalahkan Taiwan. Tapi apa yang akan memicu serangan China ke Taiwan?

Bagi Beijing, selama ini garis merahnya adalah deklarasi kemerdekaan resmi oleh Taiwan.

Chen mengatakan, pemerintahan Taiwan di bawah Presiden Tsai Ing-wen dan Partai Progresif Demokratik (DPP) semakin dekat dengan ancaman itu. "Syarat China untuk menyerang Taiwan barangkali saat mereka mereka percaya Taiwan akan merdeka dan tidak ada cara untuk mencegahnya," kata Chen.

"Jadi jika dalam pemilihan presiden berikutnya kandidat DPP menang lagi, maka mungkin Beijing akan membuat keputusan untuk melakukan serangan awal terhadap Taiwan demi mencegah kami merdeka."

Itu adalah argumen yang agak oportunis dari sebuah partai yang kini berniat kembali berkuasa. Namun tetap saja itu menggambarkan garis pemisah dalam politik Taiwan.

Di satu sisi ada KMT, yang ingin meyakinkan Beijing bahwa Taiwan tidak akan mengubah status quo. Di sisi lain terdapat orang-orang seperti Freddy Lim, yang percaya bahwa usaha menenangkan China telah gagal dan satu-satunya jawaban ialah memiliki pertahanan yang lebih kuat.

"Kami sudah berusaha menenangkan China selama beberapa dekade. Itu hanya membuktikan bahwa kami tidak bisa menenangkan mereka," katanya.

"Setelah perang Ukraina, jajak pendapat dengan jelas menunjukkan bahwa orang-orang Taiwan mendukung pertahanan yang lebih kuat, terutama generasi muda yang menunjukkan kemauan yang kuat untuk mempertahankan negara kami sendiri," sambungnya.

Lim benar bahwa perang Ukraina telah berdampak besar di Taiwan. Akhir pekan lalu, di sebuah gedung pabrik yang tidak terpakai, setengah jam perjalanan dari Taipei, BBC menyaksikan sekitar 30 anak muda mempelajari keterampilan senjata api dasar.

Senjata-senjata itu bertenaga udara terkompresi, tapi tampak identik dengan yang asli. Perusahaan yang memberikan pelatihan ini dipimpin oleh Max Chiang. "Sejak Februari jumlah peserta yang bergabung ke pelatihan ini melonjak 50 persen dan jumlah perempuan yang bergabung sekarang menjadi 40-50 persen dari beberapa kelas," ucapnya.

"Orang-orang mulai menyadari kenyataan bahwa negara yang lebih kuat dapat menyerang negara tetangganya yang lebih kecil. Mereka melihat apa yang terjadi di Ukraina dan itu menunjukkan apa yang bisa terjadi di sini," kata Chiang.

Pelatih bela diri Max Chiang mengatakan jumlah pendaftar di kelasnya telah melonjak hingga 50 persen. Di gedung sebelahnya, kelompok lain yang sudah lebih terampil sedang berlatih skenario pertempuran jalanan. Grup ini berkamuflase penuh, dengan pelindung tubuh, helm, dan peralatan komunikasi radio.

Di sebuah meja, Lisa Hsueh mengokang senjatanya. "Kalau ketegangan kami dengan China berujung pada perang, saya akan melindungi diri saya dan keluarga saya. Itulah alasan saya belajar menggunakan senjata," katanya.

"Perempuan seperti saya tidak pergi bertempur di garis depan. Tetapi jika perang pecah, kami akan dapat melindungi diri sendiri di rumah kami," sambungnya.

Saya bertanya kepadanya mengapa dia percaya bahwa persiapan berperang untuk Taiwan itu penting. "Saya menghargai kebebasan kami. Kami hidup di negara demokratis. Jadi, ini adalah hak dasar kami. Dan kami harus menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut," jawabnya.

"China adalah negara tanpa hak demokratis. Jadi saya merasa bersyukur telah dibesarkan di Taiwan."

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Muda Mudi Taiwan Persiapkan Diri Berperang Lawan China",

Penulis : BBC News Indonesia Editor : Danur Lambang Pristiandaru

Editor: Adi Wikanto