Belajar ilmu mebel sejak masih di bangku SMA (2)



Terjun ke industri mebel sudah menjadi pilihan hidup bagi Christianto Prabawa. Sebelum terjun ke industri ini, ia sudah menyiapkan diri dengan menimba ilmu di Sekolah Menengah Kejuruan Pendidikan Industri Kayu (SMK PIKA) di Semarang, Jawa Tengah.

Laki-laki berbadan tambun ini bercerita, di awal tahun pelajaran baru dia sempat dipanggil oleh Kepala Sekolah karena nilai praktiknya yang jeblok. “Waktu itu Kepala Sekolah menawarkan saya pindah SMA saja,” katanya. Maklum, waktu itu nilai terbaiknya adalah pelajaran umum, seperti Bahasa Inggris, PPKN, dan lainnya.

Namun, Christianto tetap memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah itu. Setelah lulus, ia ini bekerja di sebuah perusahaan furnitur di Jakarta. Selang dua tahun, dia kembali ke sekolah yang sama untuk melanjutkan pendidikan dan mempelajari manajemen perusahaan selama dua tahun.


Setelah menyelesaikan seluruh pendidikannya, ia kembali merantau ke ibu kota. Dia lalu bergabung dengan perusahaan furnitur lokal yang memasok pasar mancanegara. Tidak lama setelah itu, Christianto memutuskan kembali ke Semarang dan bergabung dengan perusahaan furnitur milik asing.

Di perusahaan ini kariernya terbilang gemilang karena dia dipercaya menduduki posisi direktur perusahaan. Merasa tidak puas dengan yang didapatkannya dan ingin mengembangkan potensinya, Christianto memutuskan untuk keluar dari perusahaan tersebut. Ia kemudian membuka usaha sendiri di tahun 2004.

Dengan modal awal Rp 30 juta, Christianto membeli tanah kecil dan memulai usahanya. Produksi awalnya hanya sekitar 100–150 unit kabinet kecil untuk dipasarkan di pasar lokal. Jumlah karyawannya juga hanya hanya empat orang.

Selain mengurus pemasaran, dia juga sibuk membuat furnitur. “Saat itu saya sendiri yang kirim barang pakai pick up,” kenangnya. Terus berusaha untuk mengembangkan usahanya, selang setahun, laki-laki yang juga gemar bermain bola basket ini berhasil mendapatkan konsumen mancanegaranya yang pertama.

Dia mendapatkannya dari seorang teman di luar kota. Sejak saat itu, jumlah produksinya mulai bertambah menjadi satu kontainer dalam waktu tiga bulan. Jumlah karyawannya juga bertambah menjadi 20 orang. “ Itu pertama kalinya kami terima dollar,” katanya sambil tertawa.

Saat itu, satu kontainernya dihargai sekitar US$ 13.000. Terus menjaga kualitas produknya, tahun 2006 Christianto mendapatkan satu pelanggan baru dari Amerika Serikat. Saat itu, dia diminta menyetok dua kontainer furniture dalam waktu dua bulan. “Cukup berat buat saya karena saat itu kapasitas produksi dan modal terbatas,” katanya.

Christianto lalu menceritakan kondisinya kepada si pemesan. Gayung bersambut, dia lalu diberikan modal pinjaman oleh konsumen sebesar Rp 1 miliar. Uang itu dipakainya buat menambah mesin, membeli lahan, dan menambah karyawan hingga totalnya menjadi 60 orang.    

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Havid Vebri