KONTAN.CO.ID - Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, merupakan salah satu perang besar yang terjadi untuk melawan penjajahan Belanda. Seperti yang disampaikan Presiden Soekarno, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya. Salah satu cara menghormati jasa pahlawan yang telah gugur adalah membaca kisah perjuangan mereka. Melansir laman
Direktorat SMP Kemendikbud Ristek, Pangeran Diponegoro merupakan salah satu pahlawan nasional yang turut melawan penjajahan Belanda.
Pangeran Diponegoro memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo. Beliau merupakan putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III yang lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta. Beliau dikenal luas sebagai pemimpin Perang Diponegoro yang merupakan salah satu perang terbesar yang dialami Belanda kala menduduki Nusantara.
Baca Juga: Daftar Sekolah Kedinasan yang Buka Pendaftaran 1 April 2023 serta Kuotanya Penyebab pecahnya Perang Diponegoro
Perang Diponegoro atau biasa disebut juga Perang Jawa tersulut karena Pangeran tidak setuju dengan campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan. Hal tersebut ditambah dengan penderitaan petani lokal yang sejak tahun 1812 menderita akibat penyalahgunaan penyewaan oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. Pada tanggal 6 Mei 1823, Van der Capellen mengeluarkan dekrit yang menyatakan semua tanah yang disewakan orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 184. Namun, bersumber laman Direktorat SMP Kemendikbud Ristek, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa. Pangeran Diponegoro kemudian membulatkan tekad untuk melawan dengan membatalkan pajak Puwarsa. Hal ini dilakukan agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makan. Kekecewaan beliau mencapai batas puncaknya saat tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api dipasang oleh Patih Danureja atas perintah Belanda melewati makam leluhur Pangeran Dipenogoro. Tindakan Belanda tersebut semakin membulatkan tekad Pangeran Diponegoro untuk melawan Belanda dan menyatakan sikap perang.
Pecahnya Perang Jawa pimpinan Pangeran Diponegoro
Perang Jawa dimulai pada tahun 1825. Namun sebelum perang tersebut pecah, Pangeran Diponegoro sempat akan ditangkap. Pada hari Rabu tanggal 20 Juli 1825, sebelum perang pecah, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo. Pangeran dan sebagian pengikutnya berhasil selamat meski kediaman beliau jatuh dan dibakar. Hal ini dikarenakan Pangeran Diponegoro lebih memahami medan di Tegalrejo. Beliau beserta keluarga dan pasukannya bergerak ke arah barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo. Kemudian Diponegoro meneruskan perjalanannya ke selatan hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong yang berada di 5 kilometer arah abrat Kota Bantul. Pangeran Diponegoro tidak berdiam diri, beliau kemudian pindah ke Selangor yang dijadikan sebagai markas besarnya. Selangor merupakan daerah berbukit dan menjadikan Goa Selangor sebagai basisnya.
Baca Juga: Ini Jadwal dan Lokasi Pelaksanaan 2 Gelombang UTBK-SNBT 2023 Goa tersebut terletak di Dusun Kentolan Low, Guwisari Pajang Bantul. Diponegoro menggunakan Goa Kakung yang berada di sebelah barat sebagai tempat pertapaan. Sedangkan goa di sebelah timur bernama Goa Putri ditempati oleh Raden Ayu Retnaningsih. Beliau adalah selir Pangeran Diponegoro yang paling setia menemani setelah dua istri Pangeran wafat. Penyerangan di Tegalrejo tersebut menjadi permulaan dimulainya Perang Diponegoro atau Perang jawa.
Masyarakat bergabung lawan penjajahan Belanda
Perang tersebut berlangsung selama lima tahun (1825-1830) dan dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Beliau memimpin masyarakat Jawa mulai dari petani hingga priyayi yang menyumbangkan harta mereka sebagai dana perang. Semangat masyarakat Jawa kala berperang melawan Belanda dikenal dengan “
Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati” yang artinya “sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati”. Tidak hanya dari kalangan masyarakat biasa saja, banyak pangeran yang ikut bergabung dalam Perang Diponegoro. Sebanyak 15 pangeran dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro untuk melawan penjajahan Belanda. Hebatnya, Pangeran Diponegoro berhasil memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan, meskipun mobilisasi ini menjadi kontroversi tersendiri. Banyak tokoh penting yang juga turut membantu Diponegoro dalam Perang Jawa tersebut. Beliau dibantu oleh Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubuwono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan selama Perang Jawa berlangsung.
Penangkapan Pangeran Diponegoro dan berakhirnya Perang Jawa
Pangeran Diponegoro sangat piawai dalam memimpin pasukan pemberontakan dan membuat Belanda kewalahan. Tidak heran jika Perang Jawa disebut sebagai salah satu perang terbesar yang pernah dihadapi Belanda. Untuk menangkap Pangeran Diponegoro, Belanda menggunakan taktik Benteng Stelsel. Pada tahun 1827, Belanda menggunakan taktik ini sehingga pasukan Pangeran Diponegoro terjepit. Dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1829, Kyai Mojo yang merupakan pemimpin sepiritual pemberontakan ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utama Perang Jawa, Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda.
Baca Juga: 6 Kemampuan yang Perlu Dikuasai Anak Sebelum Masuk SD, Bukan Calistung Pangeran Diponegoro terus terdesak hingga pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan beliau di Magelang. Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Beliau kemudian ditangkap dan diasingkan ke Manado. Kemudian Pangeran Diponegoro dipindahkan ke Makassar hingga wafat pada tanggal 8 Januari 1855 di Benteng Rotterdam. Perang Jawa yang berlangsung selama lima tahun telah menelan sebanyak 200.000 korban jiwa dari penduduk Jawa. Sedangkan pihak korban tewas dari pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7.000 serdadu pribumi.
Tidak hanya perang melawan Belanda, Perang Jawa juga merupakan perang saudara antara orang keraton yang berpihak pada Pangeran Diponegoro dan yang berpihak pada Belanda. Berakhirnya Perang Diponegoro menjadi penegas penguasaan Belanda atas Pulau Jawa. Dua tahun setelah perang berakhir, seluruh raja dan bupati di Jawa tundung menyerah kepada Belanda. Namun bupati Ponorogo kala itu, Warok Brotodiningrat III menolak untuk tunduk. Beliau justru hendak menyerang seluruh kantor Belanda yang berada di kota-kota karesidenan Madiun dan di Jawa Tengah seperti di Wonogiri dan Karanganyar yang banyak dihuni oleh Warok. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News