Belalang dan Jangkrik Dinilai Paling Potensial Jadi Pangan Masa Depan



KONTAN.CO.ID - Akademisi dan pakar entomologi Dr. Ir. Dadan Hindayana menilai serangga berpotensi besar menjadi sumber protein masa depan yang lebih efisien dan berwawasan lingkungan. Dalam diskusi Kompasiana bertajuk Perspektif: Melacak Jejak Pangan Nusantara di Studio 2 Kompas TV, Jakarta, Dadan mengatakan tidak semua serangga dapat dikonsumsi, namun terdapat kelompok edible insect seperti belalang, jangkrik, laron, hingga brood atau larva lebah yang memiliki nilai gizi tinggi.

Menurut Dadan, protein dari serangga dihasilkan dengan tingkat efisiensi yang jauh lebih baik dibandingkan sumber protein hewani konvensional. Untuk menghasilkan jumlah protein yang sama, serangga enam kali lebih efisien dibandingkan sapi, empat kali lebih efisien dari domba, dan dua kali lebih efisien dibandingkan ayam. Dengan keunggulan tersebut, pemanfaatan serangga dinilai lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

“Bahkan menghasilkan protein yang jauh lebih efisien dibandingkan sumber hewan lain. Jadi dengan jumlah protein yang sama serangga itu bisa menghasilkan sejumlah protein yang dengan jumlah makanan yang lebih efisien, itu 6 kali lebih efisien dibandingkan daging sapi. 4 kali lebih efisien dibandingkan domba dan 2 kali lebih efisien dibandingkan ayam,” kata Dadan.


Ia mencontohkan, di China belalang telah dibudidayakan secara masif dan ditetapkan sebagai sumber protein yang bahkan diekspor. Di Indonesia, konsumsi belalang masih bersifat tradisional, seperti di Gunungkidul, Yogyakarta, di mana belalang goreng dijual di pinggir jalan dengan harga relatif lebih mahal karena masih mengandalkan tangkapan alam dan belum dibudidayakan secara luas.

Dadan menyebut jangkrik dan belalang sebagai jenis serangga yang paling mudah dikembangkan dan bernilai gizi tinggi. Jangkrik bahkan telah diolah menjadi camilan modern seperti cricket chips yang populer di sejumlah negara, termasuk Inggris. Belalang pun dinilai bersih karena bersifat herbivora dan hanya memakan daun, sehingga relatif minim risiko kontaminasi.

“Yang paling mudah jangkrik dan belalang. Kalau jangkrik sekarang malah jadi semacam snack dan itu sudah populer ya kalau di-searching coba di internet, cricket chip gitu pasti sudah banyak yang jualan. Di Inggris ini populer,” lanjut Dadan.

“Belalang sekarang di China sudah dibudayakan dalam jumlah besar dengan area yang sedikit, dengan jumlah makanan yang lebih sedikit dia menghasilkan super protein yang luar biasa,” sambung Dadan.

Selain itu, ia menyoroti konsumsi ulat sagu yang lazim di Papua dan Indonesia Timur sebagai contoh pangan protein yang sangat bersih karena hidup pada tanaman sagu yang tumbuh alami tanpa pupuk dan pestisida. Beberapa serangga, seperti lebah, bahkan menjadi indikator kebersihan lingkungan karena sangat sensitif terhadap polusi dan penggunaan pestisida.

Meski demikian, Dadan mengingatkan perlunya kehati-hatian, terutama bagi masyarakat awam, karena tidak semua jenis belalang aman dikonsumsi. Belalang berwarna hijau umumnya aman, sementara yang berwarna mencolok berpotensi beracun. Ia juga mengingatkan adanya risiko alergi terhadap kitin pada sebagian orang.

Dadan menilai tantangan utama pengembangan pangan serangga di Indonesia terletak pada kebiasaan konsumsi. Namun, dengan pengolahan yang tepat, seperti dijadikan tepung atau camilan, serangga dapat diterima lebih luas. Ia menyebut protein serangga memiliki rasa yang mendekati udang dan kandungan gizi seperti vitamin B12 pada jangkrik yang baik bagi kesehatan.

“Jadi yang paling sederhana sebetulnya digoreng untuk ke belalang. Tapi kalau kita masih awam mohon hati-hati karena ada belalang yang warnanya belang-belang agak terang itu agak beracun. Jadi harusnya belalang-belalang yang belalang yang umum aja yang ditemukan yang warna hijau gitu itu belalang pasti bisa dimakan,” pungkas Dadan.

Sebagai informasi, acara Perspektif: Melacak Jejak Pangan Nusantara turut dihadiri Kepala Riset Hortikultura dan Perkebunan BRIN, Dr. Dra. Dwinita Wikan Utami, M.Si., Research Director CS-IFA Repa Kustipia, CEO KG Media Andy Budiman,  Chief Marketing Officer of KG Media Dian Gemiano, COO Kompasiana Heru Margianto, dan pimpinan KG Media lainnya.

Selanjutnya: Ini Rating Drakor Dynamite Kiss Episode 12, Mini Series Weekday Terpopuler

Menarik Dibaca: Berlibur ke Dubai, Ini 5 Tradisi Uni Emirat Arab yang Wajib Diketahui

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News