KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Anggaran belanja negara ditargetkan meningkat pada 2026, dinilai cukup mengkhawatirkan. Hal ini karena, potensi penerimaan negara di tahun depan diramal kembali melempem. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mematok anggaran belanja negara sebesar Rp 3.842,7 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026. Anggaran belanja tersebut meningkat dari
outlook tahun ini yang sebesar Rp 2.865,5 triliun. Belanja negara ini terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 3.149,7 triliun, dan transfer ke daerah (TKD) Rp 693 triliun.
Baca Juga: Realisasi Belanja Seret, Kemenkeu Tegaskan Fokus Kualitas Belanja APBN Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana menilai, dengan anggaran yang besar tersebut cukup mengkhawatirkan, karena kemungkinan besar penerimaan negara mengalami kembali
shortfall, atau tidak mencapai target. Tahun depan pemerintah menargetkan penerimaan negara Rp 3.153,6 triliun, atau meningkat dari
outlook pendapatan negara 2025 Rp 3.005,1 triliun. “Dalam dua tahun terakhir saja, yakni tahun 2024 kemarin dan 2025 sekarang, target pendapatan APBN dari pajak tidak mencapai target atau
shortfall,” tutur Andri kepada Kontan, Jumat (26/12/2025). Andri mencatat bahwa pada 2024 kekurangan (shortfall) pendapatan pajak masih dapat ditopang oleh pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Namun, pada 2025 pendapatan negara secara keseluruhan, berdasarkan outlook pemerintah sendiri, diproyeksikan hanya mencapai 95,35%, dan bahkan dari proyeksi yang telah diturunkan tersebut, Kemenkeu dinilai masih menghadapi kesulitan untuk mencapainya.
Baca Juga: Purbaya Usul ke Prabowo Bentuk Satgas Baru Awasi Belanja APBN dan Program Prioritas Andri menilai, target pendapatan negara pada 2026 sebesar Rp 3.153,58 triliun yang bahkan lebih tinggi dibandingkan angka dalam RAPBN semula sebesar Rp 3.147,68 triliun, terkesan terlalu dipaksakan. Pasalnya, target tersebut mensyaratkan kenaikan pendapatan lebih dari 10% dibandingkan proyeksi realisasi tahun berjalan. Padahal, dalam skenario
business as usual, pemerintah dinilai masih kesulitan memenuhi target pendapatan yang belum dinaikkan, mengingat realisasi pertumbuhan pendapatan tahun ini diproyeksikan di bawah 0,1% meskipun pertumbuhan ekonomi disebut berada di atas 5%. Selain itu, kebijakan tersebut dinilai berseberangan dengan narasi Menteri Keuangan sebelumnya yang ingin menunjukkan perbedaan pendekatan dari pendahulunya, yang kerap dipersepsikan publik hanya mengandalkan kenaikan pajak. Adapun Andri juga menilai, hingga saat ini, dari sisi kebijakan perpajakan, belum terdapat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan Purbaya yang secara fundamental mengubah basis pendapatan pemerintah dibandingkan dengan kebijakan menteri sebelumnya.
Baca Juga: Belanja APBN 2026 Tembus Rp 3.842,7 Triliun, Indef Ingatkan Kualitas & Risiko Fiskal Sebagai contoh, tarif cukai yang sebelumnya disebut terlalu tinggi hingga dijuluki “firaun” pada praktiknya tetap menunjukkan tren kenaikan, tercermin dalam target penerimaan cukai pada APBN 2026 yang mencapai Rp 243,53 triliun, lebih tinggi dibandingkan target dalam dokumen RAPBN 2026 sebesar Rp 241,8 triliun. Selain itu, target pendapatan yang dinilai kurang realistis tersebut diperkirakan disusun untuk menyesuaikan dengan rencana belanja pemerintah yang semakin membengkak pada tahun depan, bukan berdasarkan proyeksi pertumbuhan dari kondisi dasar (basis) pendapatan. Oleh karena itu, ia memperkirakan, untuk mencapai target tersebut pemerintah berpotensi tetap, bahkan semakin agresif, dalam mencari sumber pendapatan, terlebih setelah BUMN tidak lagi menyetorkan dividen kepada negara sejak pembentukan Danantara.
Baca Juga: Pendapatan Negara 2025 Diprediksi Tak Capai Target, PPh dan PPN Diramal Anjlok Lebih lanjut, Andri memperingatkan, apabila pada tahun depan tidak terjadi perubahan signifikan yang memperbaiki basis pertumbuhan pendapatan, khususnya pendapatan masyarakat dan sektor swasta, maka risiko pelebaran defisit APBN justru akan meningkat hingga mendekati batas maksimal 3% terhadap PDB sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Menurutnya, jika defisit mendekati batas tersebut, pemerintah diperkirakan akan menghadapi dua pilihan, yakni kembali memangkas belanja yang dinilai masih dapat dikorbankan, seperti transfer ke daerah (TKD) dan sejumlah anggaran dalam Inpres 1/2025, atau mendorong DPR untuk mengubah ketentuan batas maksimal defisit 3% tersebut, yang pada akhirnya dinilai dapat mengancam keberlanjutan fiskal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News