Belanja modal INCO naik jadi US$ 185 juta di 2015



JAKARTA. Usai menyelesaikan renegosiasi kontrak karya dengan pemerintah, PT Vale Indonesia Tbk (INCO) terus menggeber realisasi pembangunan smelter bijih nikel di tiga lokasi. Untuk itu, perseroan menyiapkan dana belanja modal alias capital expenditure (capex) sebesar US$ 120 juta hingga US$ 185 juta, lebih tinggi dari tahun lalu yang sekitar US$ 100 juta.

Nico Kanter, Direktur Utama INCO mengatakan, sebagian besar belanja modal itu akan digunakan untuk pembangunan smelter di Sorowako, Sulawesi Selatan. Untuk tahap pertama, proyek itu akan menelan dana sekitar US$ 400 juta hingga US$ 500 juta. "Tahap satu pembangunannya tiga tahun," ujarnya di Jakarta, Selasa (31/3).

Dalam jangka panjang, INCO memiliki rencana ekspansi smelter senilai US$ 4 miliar. Rinciannya, sebesar US$ 2 miliar bakal digunakan untuk investasi smelter di Sorowako dan Bahadopi, Sulawesi Tenggara. Lalu sebesar US$ 2 miliar untuk proyek smelter greenfield di Pomalaa, Sulawesi Tenggara.


Saat ini, INCO tengah dalam tahap kajian dan uji coba proyek di Sorowako. Tahap uji coba itu membutuhkan waktu hingga satu tahun. Nantinya proyek Bahadopi akan menjadi proyek tahap dua setelah pengerjaan smelter Sorowako. Dalam tiga tahun ke depan, smelter Sorowako bisa menambah kapasitas produksi nikel dalam matte INCO menjadi 90.000 ton. Sementara jika tahap dua sudah selesai, produksi nikel INCO bisa menjadi 120.000 ton.

Nah, khusus tahun ini saja, pengembangan smelter Sorowako akan menghabiskan anggaran belanja modal sekitar US$ 40 juta hingga US$ 60 juta. INCO juga akan menumbuhkan mining strategy dengan mencari produk dengan grade yang lebih tinggi. Ekspansi ini akan menelan biaya US$ 40 juta. Sementara sisa dana belanja modal akan digunakan untuk meningkatkan aset lainnya. "Belanja modal tahun ini seluruhnya akan berasal dari kas internal," ujar Direktur Keuangan INCO, Febriany Eddy.

INCO juga masih memiliki pinjaman yang sudah tersedia sekitar US$ 100 juta. Dalam jangka panjang, kemungkinan INCO akan mencari pendaaan bank untuk membiayai proyek smelter tersebut. Pasalnya, INCO tak bisa berharap banyak bisa mendapatkan suntikan dana dari induknya di tengah pelemahan harga komoditas saat ini.

Untuk proyek pengolahan bijih nikel di Pomalaa, perseroan akan bekerja sama dengan Sumitomo Metal Mining Co. Ltd. INCO juga masih melakukan studi kelayakan terhadap aktivitas pertambangan dengan luas konsesi sekitar 20.000 hektare tersebut. Namun proyek ini sempat tertunda lantaran terhambat perizinan. "Sekarang kami sudah dapat izin eksplorasi di proyek ini dan tinggal finalisasi," tandasnya.

Pendapatan INCO naik 13% dari US$ 921,6 juta pada tahun 2013 menjadi US$ 1,03 miliar pada tahun 2014. Hal ini karena volume penjualan INCO naik 3% menjadi 79.477 metrik ton sepanjang tahun 2014. Harga rata-rata nikel INCO pun naik 9% menjadi US$ 13.061 per metrik ton. Perseroan juga berhasil membukukan kenaikan laba bersih tiga kali lipat menjadi US$ 172,3 juta pada tahun 2014. Tahun ini, perseroan menargetkan volume penjualan sebesar 80.000 ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa