KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah dinilai perlu mewaspadai sejumlah risiko di balik rencana peningkatan belanja fiskal dalam postur APBN 2026. Pasalnya, kebijakan fiskal yang lebih ekspansif berpotensi menekan stabilitas ekonomi nasional apabila tidak dikelola secara hati-hati dan efektif. Chief Economist PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Suhindarto menilai, APBN 2026 memang dirancang untuk memberikan dukungan fiskal yang lebih kuat bagi pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Semakin Meningkat, 10,22 Juta Wajb Pajak Sudah Aktivasi Akun Coretax Namun, ruang stimulus tersebut tetap dibayangi berbagai risiko yang perlu diantisipasi agar kebijakan fiskal tidak berujung kontraproduktif. “Menurut saya, postur anggaran tahun depan menyediakan dukungan fiskal yang relatif lebih baik bagi pertumbuhan ekonomi, meskipun juga terdapat sejumlah risiko yang perlu terus diantisipasi,” ujar Suhindarto kepada Kontan, Selasa (30/12/2025). Ia menjelaskan, pemerintah telah merevisi Rancangan APBN (RAPBN) 2026 yang kemudian disahkan pada akhir September lalu. Salah satu sorotan utama adalah peningkatan belanja pemerintah menjadi Rp 3.842,73 triliun, atau tumbuh 8,94% dibandingkan outlook realisasi tahun 2025. “Kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal pada tahun depan akan lebih ekspansif dan diharapkan mampu menjadi faktor pendorong dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4%,” kata Suhindarto.
Baca Juga: Inflasi Bulan Desember 2025 Diprediksi Naik Dipengaruhi Lonjakan Harga Pangan Namun, ekspansi belanja tersebut juga dibarengi dengan target pendapatan negara yang cukup agresif. Pada 2026, pendapatan negara ditargetkan mencapai Rp 3.153,58 triliun, atau tumbuh 10,05% dari perkiraan realisasi tahun 2025. Suhindarto menilai target tersebut cukup ambisius, mengingat pada tahun ini target pendapatan negara yang dipatok menembus Rp 3.000 triliun belum berhasil terealisasi. Tantangan tersebut semakin besar seiring dibatalkannya sejumlah kebijakan perpajakan dan cukai, seperti rencana kenaikan PPN menjadi 12% serta penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan. “Dengan kondisi tersebut, pencapaian target pendapatan negara akan menjadi sangat menantang,” ujarnya. Di tengah postur fiskal yang lebih ekspansif, Suhindarto menekankan terdapat lima risiko utama APBN 2026 yang perlu diantisipasi agar pengelolaan anggaran tetap prudent dan efektif.
Baca Juga: Telan Anggaran Rp 21 Miliar, KKP Rampungkan Pembangunan KNMP Toli-Toli Pertama, potensi pelebaran defisit anggaran. Meski secara rasio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) lebih rendah dibandingkan perkiraan realisasi tahun ini, secara nominal defisit tetap meningkat sekitar 4,1%. “Kenaikan defisit tersebut, jika tidak dikelola secara hati-hati dan tidak dibelanjakan secara efektif, justru berpotensi menyerap dana berlebih oleh pemerintah dan menjadi kontraproduktif bagi perekonomian nasional,” ujar Suhindarto. Kedua, perlunya dorongan ekstra untuk meningkatkan pendapatan negara. Ketergantungan terhadap harga komoditas yang relatif tinggi dinilai masih menjadi kelemahan struktural yang perlu segera diatasi melalui perbaikan ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan negara. “Ketergantungan ini perlu mulai di-challenge dan diperbaiki sejak dini agar kapasitas dukungan fiskal ke depan menjadi lebih kuat,” katanya.
Baca Juga: Pemerintah Buka Keran Impor Gula Industri 3,12 Juta Ton Tahun Depan Ketiga, efektivitas belanja negara di tengah meningkatnya beban bunga utang. Suhindarto menyoroti penurunan signifikan alokasi belanja modal dalam APBN 2026, padahal belanja modal memiliki efek pengganda yang relatif tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, kenaikan pembayaran bunga utang yang meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir dinilai semakin mempersempit ruang fleksibilitas fiskal pemerintah. “Jika pemerintah ingin mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, belanja negara harus mampu menggerakkan efek pengganda yang besar agar sektor swasta ikut bergerak,” ujarnya. Keempat, penurunan alokasi transfer ke daerah (TKD). Berdasarkan observasi Pefindo, penurunan anggaran TKD berpotensi menekan konsumsi domestik, baik dari sisi rumah tangga maupun pemerintah daerah. “Mengingat pangsa konsumsi mencapai sekitar 60% dari perekonomian, hal ini menjadi krusial bagi pertumbuhan ekonomi ke depan,” kata Suhindarto.
Baca Juga: Uang Beredar (M1) Diprediksi Mencapai Rp 5.800 Triliun pada Desember 2025 Ia menambahkan, pengurangan anggaran TKD juga berpotensi mendorong kenaikan pajak daerah hingga memicu gejolak sosial. Kelima, efektivitas defisit anggaran itu sendiri dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam beberapa tahun terakhir, peningkatan defisit pemerintah dinilai belum sepenuhnya tercermin dalam percepatan pertumbuhan ekonomi.
“Oleh karena itu, memastikan defisit anggaran benar-benar mampu menjadi faktor pendorong perekonomian secara keseluruhan menjadi sangat penting,” pungkas Suhindarto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News