Belanja Pemda minim dinilai ganggu layanan publik



JAKARTA. Hingga awal November 2013, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat penyerapan anggaran pemda di seluruh Indonesia rata-rata hanya 68%.

Padahal, tahun ini Pemerintah Pusat sudah mentransfer dana sebesar Rp 529.40 triliun ke daerah.

Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, rendahnya belanja anggaran pemda tersebut dikarenakan pemda kurang berani memutuskan penggunaan dana dan masih menunggu petunjuk teknis dari Pemerintah Pusat, untuk dana program dekonsentrasi.


Dana Dekonsentrasi adalah alokasi anggaran dari APBN yang penugasannya diberikan kepada Gubernur.

Sad Dian Utomo, Direktur Eksekutif Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) menilai, lambatnya belanja anggaran pemda akan mengganggu pelayanan publik yang seharusnya diterima oleh masyarakat.

Berdasarkan analisis PATTIRO, kata Dian, dari data Potret APBD Tahun Anggaran 2013 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (DJPK Kemkeu),  49% anggaran pemda tingkat kabupaten dan kota di Indonesia digunakan untuk belanja pegawai.

Sedangkan anggaran untuk belanja modal seperti untuk pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, serta pelayanan publik lainnya di bidang pendidikan dan kesehatan hanya sebesar 25% untuk Kabupaten dan 26% untuk Kota.

Hal ini berarti, jika penyerapan anggaran berjalan secara proporsional hingga bulan Oktober 2013, dari 68% penyerapan anggaran yang dikemukakan Mendagri, sekitar 27,76% penggunaannya adalah untuk belanja pegawai, dan 14,74% digunakan untuk belanja modal.

“Namun biasanya, berdasarkan pengalaman, hampir di semua pemda penyerapan belanja modal baru akan membesar pada akhir tahun anggaran,” kata Dian dalam siaran persnya yang diterima redaksi KONTAN, Senin (25/11).

Memicu pembengkakan Silpa

Kecilnya penyerapan anggaran dan kebiasaan pemda melakukan penyerapan di akhir tahun anggaran untuk belanja modal, sudah dipastikan akan mengganggu kinerja dan kualitas pelayanan publik yang seharusnya diberikan oleh pemda kepada masyarakat.

Banyak proyek pembangunan infrastruktur di daerah yang belum terlaksana dan akan menghambat pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Selain itu, kualitas pelayanan publik khususnya di bidang kesehatan dan pendidikan akan memburuk dan masyarakat pun dirugikan.

Di beberapa kabupaten di pulau Jawa saja, banyak proyek perbaikan jalan dan pembangunan sarana kesehatan dan pendidikan belum berjalan. 

Dian juga melihat rendahnya penyerapan anggaran ini akan memicu pembengkakan sisa lebih perhitungan anggaran (Silpa).

Data dari DJPK Kemkeu menyebutkan, pada realisasi APBD TA 2012 di 3 kabupaten di provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bogor, total anggaran yang tidak terserap dan menjadi SiLPA mencapai lebih dari Rp 400 miliar di tiap Kabupaten.

PATTIRO menengarai, tingginya Silpa merupakan unsur kesengajaan sejumlah oknum di Pemda yang ingin memanfaatkan bunga dari simpanan Silpa ini di bank.

Selain itu, ada anggapan dari pemda bahwa tingginya Silpa menunjukan bahwa mereka sudah membelanjakan anggaran secara efektif dan efisien.

“Jika SiLPA tersebut berasal dari belanja pegawai, bisa dikatakan efektif dan efisien, namun jika Silpa berasal dari belanja modal, sudah dipastikan ada pelayanan publik yang terganggu,” ungkap Dian.

Untuk itu, PATTIRO merekomendasikan kepada Kemendagri agar menginstruksikan kepada seluruh pemda agar mempercepat penyerapan dan memberikan petunjuk teknis untuk pemakaian dana dekonsentrasi.

Selain itu, untuk mencegah masalah seperti ini terus berulang setiap tahunnya, Kemendagri tidak hanya memberikan sanksi kepada pemerintah daerah yang tidak menerapkan standar pelayanan minimal (SPM) saat memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.

Kemendagri juga harus tegas memberikan sanksi kepada pemda yang lamban dalam menyerap anggaran terutama anggaran untuk belanja modal.  Hal ini sangat perlu agar pelayanan publik tidak terganggu dan bisa dinikmati masyarakat secara utuh.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan