Belanja pemerintah pusat kencang di awal tahun, Ekonom: Jaga momentum pertumbuhan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sepanjang Januari, realisasi belanja pemerintah pusat mengalami pertumbuhan positif. Belanja pemerintah pusat mencapai Rp 76,13 triliun atau tumbuh 17,8% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya (yoy).

Realisasi belanja pemerintah pusat tersebut setara dengan 4,66% dari target APBN 2019 yaitu Rp 1.634,34 triliun. Januari tahun lalu, serapan belanja pemerintah pusat hanya memenuhi 4,44% dari target.

Pertumbuhan belanja pemerintah pusat didorong oleh belanja kementerian dan lembaga (K/L) yang tumbuh 58,5% yoy menjadi Rp 31,97 triliun. Realisasi tersebut setara 3,74% dari pagu yang sebesar Rp 855,45 triliun. Sementara, belanja non K/L justru tumbuh negatif 0,67% yoy yakni sebesar Rp 44,15 triliun.


Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, serapan belanja K/L yang lebih baik dibanding tahun sebelumnya menunjukkan adanya perbaikan kualitas perencanaan anggaran oleh kementerian. "Ini menunjukkan adanya persiapan belanja K/L yang lebih baik dan ini sangat kita dukung," ujar Sri Mulyani, Rabu (20/2).

Ditinjau dari jenis belanja, serapan pada belanja bantuan sosial dan belanja modal menjadi faktor pendorong utama pertumbuhan kinerja belanja K/L secara keseluruhan di Januari 2019. Belanja bantuan sosial mencapai Rp 15,13 triliun atau tumbuh 182,9% yoy.

Realisasi belanja bantuan sosial tersebut setara dengan 15,6% dari pagu yang ditetapkan yakni sebesar Rp 97,06 triliun. Sementara, belanja modal tumbuh 60,32% yoy mencapai Rp 1,65 triliun. Realisasi belanja modal telah mencapai 0,87% dari pagu yang ditetapkan dalam APBN 2019.

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro menilai, kinerja belanja pemerintah pusat yang kencang di awal tahun tak terlepas dari upaya mencegah perlambatan pertumbuhan ekonomi yang mulai tampak pada negara-negara lain, terutama di Asia Tenggara.

Mengutip data yang dihimpun Asian Development Bank (ADB) dalam Nikkei Asian Review, pertumbuhan ekonomi lima negara ekonomi terbesar ASEAN yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand, mengalami perlambatan dari 5,1% pada 2017 menjadi hanya 4,8% di tahun 2018.

Pertumbuhan ekonomi Singapura, misalnya, turun dari 3,9% menjadi 3,2%, terendah dalam tiga tahun terakhir. Begitu juga dengan pertumbuhan ekonomi Malaysia yang merosot dari 5,9% menjadi 4,7%, serta Filipina yang juga tumbuh melambat dari 6,7% menjadi 6,2% di 2018.

Hanya Thailand dan Indonesia yang sanggup mencetak pertumbuhan lebih baik dari tahun sebelumnya. Thailand tumbuh dari 4% menjadi 4,1%, sementara Indonesia tumbuh dari 5,07% menjadi 5,17% sepanjang 2018.

"Dampak perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China mulai terlihat efeknya, begitu pun ke Indonesia terutama di tengah kondisi ekspor kita yang tengah sulit. Realisasi belanja lewat K/L yang lebih cepat ini bentuk antisipasi untuk menjaga pertumbuhan ekonomi kita," terang Ari, Minggu (24/2).

Menurut Ari, tanpa intervensi pemerintah melalui belanja bantuan sosial misalnya, besar kemungkinan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terkontraksi di kuartal-I 2019. Apalagi, perdamaian dagang AS dan China belum kunjung terwujud, ditambah potensi perlambatan ekonomi global yang membayangi di sepanjang tahun ini.

Ari memandang, kinerja belanja pemerintah di awal tahun menunjukkan kebijakan counter-cyclical yakni dengan meningkatkan belanja di tengah siklus perekonomian yang sedang lesu secara global.

"Harapannya dengan begitu, kalau nanti kondisi global sudah lebih pasti-AS dan China berdamai misalnya, pertumbuhan kita bisa melaju lebih cepat lagi. Sebaliknya, kalau tidak dijaga, kita bisa stagnan sepanjang tahun ini," lanjut Ari.

Dengan realisasi belanja pemerintah pusat, terutama melalu K/L di Januari, Ari meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I-2019 masih bisa stabil. Ia memproyeksi, ekonomi bisa tumbuh di kisaran 5,16% - 5,18%, relatif sama dengan pertumbuhan ekonomi di kuartal terakhir tahun lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .