Belasan Jam Mengarungi Lautan Demi Menginjakkan Kaki di Talaud



KONTAN.CO.ID - TALAUD. Suasana sudah ramai di Pelabuhan Manado menjelang keberangkatan kapal KM Barcelona VA membawa calon penumpang mengarungi Laut Sulawesi menuju sejumlah pelabuhan di Kepulauan Talaud pada Rabu (28/8) sore.

Tak hanya penumpang, bahan pokok hingga sepeda motor juga ikut antre menaiki kapal putih berpadu merah, biru dan kuning khas klub sepak bola asal Spanyol itu.

Sekadar informasi, KM Barcelona VA melayani pelayaran dari Manado ke tiga pelabuhan di Talaud yakni Lirung, Melonguane dan Beo setiap hari Senin, Rabu dan Jumat. Sementara untuk kepulangan dari Talaud dilayani pada hari Selasa, Kamis dan Sabtu.


Dengan tarif Rp 330.000 per orang, kapal ini ikut mengantar Tim Jelajah Ekonomi Infrastruktur Berkelanjutan KONTAN menuju Melonguane yang menjadi tujuan kami. Sayangnya kami tak mendapat kamar tidur di kapal ini.

Meski sudah mencari tiket sejak Senin (26/8) pagi di loket agen kapal yang berada di sekitar pelabuhan, namun dengan alasan sudah sudah habis diborong, kami pun mau tak mau harus memilih tiket dengan ranjang standar.

Baca Juga: Pasca-Dibatasi, Begini Penjualan Daging Hewan Ekstrem di Pasar Beriman Tomohon

Oh iya, untuk tarif kamar sendiri dipatok sebesar Rp 660.000 per kamar. Berisi dua ranjang tingkat dilengkapi AC. Ruangannya memang tak terlalu besar, hanya sekitar 2x2,5 meter, namun jauh lebih nyaman ketimbang ranjang di dek tengah, dimana ratusan penumpang harus berbagi tempat dengan barang muatan tanpa pendingin udara.

Kami teringat saran dari Opick, mantan staf di Bandara Talaud yang masih kerap bolak-balik Manado-Melonguane menggunakan kapal. "Kalau tak dapat kamar, sebaiknya Abang naik saja dan duduk di dek atas. Kalau di bawah, panasnya minta ampun," kata Opick saat berbincang dengan kami sebelum keberangkatan.

Benar saja, tak sampai lima menit berada di dek tengah, baju kami basah kuyup karena kepanasan. Maklum, kami tak biasa menggunakan kapal sebagai sarana transportasi. Tak perlu berpikir lama, saran dari Opick kami ikuti.

Duduk di dek atas, kami disuguhkan pemandangan dari Pelabuhan Manado. Perpaduan laut, gunung dan Jembatan Soekarno begitu sayang untuk dilewatkan.

Sambil menunggu kapal berangkat, banyak orang berjualan masuk ke dalam kapal. Mereka menawarkan berbagai macam kudapan dan minuman seperti bubur kacang hijau hangat, nasi ayam, hingga jagung rebus. Ada juga yang menjual obat anti mabuk dan kipas.

Sejatinya penumpang Barcelona VA tidak perlu khawatir akan kelaparan atau kehausan selama 14 jam mengarungi laut karena ada warung di dalam kapal. Kopi, teh, makanan ringan, hingga mie instan tersedia di sana. Harganya pun masih masuk akal, misalnya saja segelas kopi panas seharga Rp 10.000 dan mie instan sekitar Rp 15.000.

Akhirnya waktu keberangkatan datang juga. Pukul 5 sore klakson kapal bersiul, perlahan Barcelona VA meninggalkan Pelabuhan Manado. Pemandangan sunset yang begitu cantik menjadi hiburan perjalanan kami sore itu. Sisa-sisa sinar matahari yang redup ditemani siluet Gunung Manado Tua, Pulau Buken dan Pulau Siladen menambah syahdu suasana.

Pemandangan tersebut tak boleh disia-siakan. Pasalnya selama belasan jam ke depan, hanya pekatnya malam yang bisa dilihat.

Selama belasan jam berlayar di laut Sulawesi, kami memilih untuk tidak tidur di barak karena guncangan gelombang di bawah lebih kencang dibandingkan dek teratas. Ditambah pula, kondisi barak sangat padat dan minim ventilasi udara sehingga terasa sekali pengapnya.

Perlu diperhatikan juga persiapan sebelum naik kapal, yakni makan minum yang cukup sehingga tubuh kuat menghadapi perjalanan panjang. Beruntungnya, selama sekitar 14 jam di atas kapal, tim kami tidak mengalami mabuk laut. Hanya saja kami kesulitan tidur karena selama perjalanan harus duduk di atas kursi besi yang keras.

Belasan jam perjalanan di kapal tentu sangat mudah mengundang rasa bosan. Sesekali kami berkeliling kapal sekadar menggerakkan badan dan berbincang dengan penumpang seperjalanan.

Ditemani kopi, kami berbagi cerita dengan penduduk Talaud yang hendak kembali ke tempat asalnya. Ada pula warga dari sejumlah tempat di Sulawesi yang harus kembali ke Nusa Utara karena alasan pekerjaan.

Baca Juga: Mimpi Mewujudkan Desa Rasa Kota Lewat Pemerataan Internet di Wilayah 3T

Salah satunya Herry yang akan kembali ke Lirung usai menjual hasil panen cengkehnya di Manado. "Sekalian pelesir lah kita di Manado semingguan ini," katanya sambil terkekeh.

Herry yang mengaku setidaknya dua bulan sekali bertandang ke Manado mengaku tak ada perubahan berarti dalam akses transportasi dari Talaud dalam beberapa tahun ke belakang. Masih manualnya penjualan tiket hingga jumlah armada yang melayani rute ini disebutnya masih sama saja.

Ada pula Celine, gadis muda yang harus kembali ke Talaud untuk kembali memenuhi tanggung jawabnya bekerja di sektor kesehatan usai liburan singkat di Manado. Tak banyak waktu libur yang bisa ia dapat. Makanya saat kesempatan datang, ia mencari suasana berbeda dengan mengunjungi kota besar.

Di saat yang sama, sejumlah penumpang lain memilih berkaraoke diiringi organ tunggal untuk menghibur diri. Lagu-lagu berbahasa Minahasa menjadi yang paling sering didendangkan. Lumayan, suasana jadi sedikit santai di tengah gelombang yang mulai meninggi.

Akhirnya, sekitar jam 08.00 WITA kami sampai di Pelabuhan Melonguane setelah sempat bersandar di Pelabuhan Lirung. Setiap berhenti di satu pelabuhan, kapal akan bersandar hingga kurang lebih satu jam untuk menurunkan penumpang dan muatan. Ada juga orang yang naik untuk ikut ke pelabuhan selanjutnya.

Hanya berjarak beberapa ratus meter saja, kami langsung menuju penginapan (homestay) yang disediakan warga lokal. Penginapan di sini dijaga bersih dan rapi. Dekat juga dengan rumah makan, warung, pasar, dan pelabuhan.

Kami bisa beristirahat sejenak sebelum melanjutkan penjelajahan infrastruktur telekomunikasi di kawasan terluar Nusantara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi