Beleid baru bea keluar CPO pro emiten CPO



JAKARTA. Harga komoditas kelapa sawit yang melemah, menyebabkan pemerintah mengubah anggaran bea keluar emiten perkebunan. Rencananya, pemerintah akan mengenakan pungutan US$ 50 per ton ekspor crude palm oil (CPO). Kemudian, olein dan turunan sawit lain dipungut US$ 30 per ton. Ketentuan ini akan berlaku April 2015.

Selain itu, pemerintah juga ingin produsen CPO mengalokasikan 15% total pengeluaran untuk keperluan domestik rumah tangga. Nantinya, hasil pungutan tersebut disimpan dalam CPO supporting fund. Dana tersebut untuk membiayai kewajiban subsidi biodiesel domestik.

Mekanisme tersebut berlaku apabila harga CPO di bawah US$ 750 per ton. Peraturan Menteri Keuangan No 75/PMK.011/2012 menyebutkan jika harga CPO di bawah US$ 750 per ton, bea keluarnya  0%.


Analis BNI Securities Yasmin Soulisa melihat, secara keseluruhan, pemberlakuan retribusi itu berdampak positif terhadap emiten perkebunan. Menurut dia, hal itu dapat mendorong permintaan dan mengerek harga CPO.

Dari sisi penawaran, Yasmin bilang, para produsen CPO saat ini cenderung kelebihan penawaran. Maka pemerintah ingin mengurangi penawaran dengan penurunan treshold pajak ekspor. Dari permintaan, implementasinya dilakukan dengan menggenjot biodiesel.

Pemerintah menargetkan penggunaan CPO di biodiesel menjadi 4,8 juta ton di tahun ini. Sedangkan di tahun lalu, realisasinya kurang lebih hanya 1,7 juta ton. "Saya melihat positif pengenaan pajak ini dari sisi kenaikan harga komoditas. Karena permintaan tinggi dengan penawaran berkurang. Maka harga naik," sebut Yasmin kepada KONTAN, Selasa, (24/3).

Memberi efek positif

Riset Mandiri Sekuritas, Senin, (23/3) menilai, rencana tersebut berdampak baik untuk harga CPO dalam jangka menengah karena bisa mendorong kenaikan permintaan minyak sawit yang lebih tinggi dibanding biodiesel. Untuk jangka pendek, pungutan US$ 50 per ton itu menggenjot hasil produsen hulu.

Yasmin menyadari, pengenaan pajak ekspor itu bisa merugikan produsen CPO dengan jumlah ekspor tinggi. Namun, perusahaan CPO yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) umumnya berjualan di pasar domestik. Kalaupun ada yang melirik ekspor, porsinya tak sampai 5%.

Direktur Utama PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) Djojo Boentoro mengungkapkan, perubahan bea keluar merupakan upaya pemerintah mengkompensasi pelemahan harga CPO Namun, ia beranggapan tak akan mempengaruhi kinerja DSNG. "Penjualan kami 100% lokal," ucap Djojo, kepada KONTAN, beberapa waktu lalu.

Direktur Keuangan PT BW Plantation Tbk (BWPT) Kelik Irwantono  menyebutkan, pengenaan supporting fund tak  mempengaruhi kinerja. Sebab seluruh produk kelapa sawit BWPT dijual untuk pasar domestik. Dia menilai, penerapan ketentuan pajak itu bisa mendongkrak permintaan yang berdampak pada kenaikan harga CPO.

Yasmin masih menggunakan skenario pesimistis untuk harga CPO tahun ini. Ia memperkirakan, rata-rata harga CPO di tahun 2015 di US$ 717 per ton. Namun ia yakin, apabila rencana pemerintah berjalan lancar, maka harga CPO dapat terkerek.

Yasmin memproyeksikan penjualan para emiten CPO akan meningkat di atas 10% di tahun ini. Kemudian laba yang dikantungi mampu tumbuh 20%.

Ia merekomendasikan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) dengan target harga Rp 35.200, PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) dengan target Rp 2.400, PT Salim Ivomas Tbk dengan target harga Rp 890, dan BWPT di Rp 510 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto