Beleid direvisi, pasokan kayu akan kembali lancar



JAKARTA. Pengusaha kayu akhirnya bisa bernafas lega. Pemerintah akhirnya merevisi aturan harga patokan kayu untuk tarif Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) pada 24 April lalu. Dalam revisi itu, pemerintah mengembalikan dasar harga patokan kayu dari sebelumnya di tingkat industri (hilir) ke hutan lagi (hulu).

Revisi itu tentu disambut baik pengusaha kayu. "Kalau tidak direvisi, kami terus terbebani besarnya PSDH. Padahal, industri hulu hutan masih lesu," kata Purwadi Soeprihanto, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) ke KONTAN, akhir pekan lalu.

Purwadi menambahkan, dengan revisi itu maka pihaknya akan kembali memasok bahan baku kayu ke industri pengolahan. Sebab, setelah ada kenaikan harga patokan pada 6 Maret lalu, suplai kayu hasil hutan ke pabrik pengolahan terhenti. Pasokan berhenti, karena pengusaha hutan mengaku tidak sanggup menganggung beban kenaikan PSDH yang mencapai 30 kali lipat.


Harga turun 93%

Dalam aturan baru bernomor 22 tahun 2012 itu, Menteri Perdagangan mengubah aturan lama Nomor 12 tahun 2012 tentang Penetapan Harga Hasil Hutan untuk Penghitungan PSDH. Aturan baru itu menyebutkan, kenaikan harga patokan kayu kembali ke tarif lama sebelum 6 Maret 2012.

Dengan aturan itu maka sekarang harga patokan kayu pinus menjadi Rp 60.000 per ton, turun 93% dari harga rata-rata sebelumnya yang sebesar Rp 879.000 per ton. Untuk harga patokan kayu sengon, semula Rp 1.069.000 per ton, turun 97% menjadi Rp 30.000 per ton. Selain pinus dan sengon, harga 46 komoditas hasil hutan lain juga dipangkas 30%-97%.

Menurut Purwadi, pengusaha rela membayar PSDH asalkan nilai intrinsik kayu dihitung saat kayu masih berada di dalam hutan atau menurut harga tegakan. "Kalau dihitung saat di pabrik, maka biaya transportasi dari hutan ke pabrik harus kami tanggung juga," katanya.

Untuk itu Purwadi berharap, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 1998 tentang PSDH dan PP Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif Jasa Penerimaan Negara Bukan Pajak yang mensyaratkan perhitungan tarif PSDH berdasarkan harga tertimbang di pasar juga direvisi.

Lisman Sumardjani, Sekjen Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI) mengatakan, harga baru yang diberikan pemerintah lebih realistis sebagai basis penarikan PSDH. Apalagi saat ini industri rotan masih lesu. Selain itu, biaya tinggi akan semakin memperburuk prospek industri rotan dan mengurangi penghasilan petani atau pemungut rotan.

Namun kelegaan para pengusaha kayu ini tidak akan berlangsung lama. Gunaryo, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan mengatakan, pihaknya akan me-review Permendag 22 tahun 2012 dalam dua bulan ke depan. "Revisi itu mulai efektif 25 April dan akan di update 30 Juni," katanya.

Agar dalam review nanti harga patokan kayu tidak terlalu tinggi, Purwadi mengatakan, pihaknya telah memberikan laporan harga berdasarkan nota invoice kepada PT Sucofindo. Perusahaan pelat merah itu selanjutnya akan melakukan verifikasi dan melaporkan hasilnya ke Menteri Perdagangan. "Bagaimana kenaikan harga nantinya, kami serahkan pada hasil verifikasi Sucofindo," ujarnya.

Lisman berharap, review harga patokan yang akan dibuat pemerintah tetap memperhatikan kemampuan industri rotan. Saat ini, harga patokan jenis rotan lambang senilai Rp 715.000 cukup ideal, sebab harga rotan basah di tingkat pengumpul sekitar Rp 2.500 per kg. "Kami harap tidak akan ada kenaikan agar produksi rotan kembali bergairah," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini