KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Libur membayar pajak. Siapa, sih, yang enggak mau iming-iming itu? Sebagai program yang memberikan keringanan setoran pajak, harusnya insentif pembebasan ataupun pengurangan pajak penghasilan (PPh) badan – seperti tax holiday dan tax allowance – bisa langsung disambar oleh para investor. Namun, faktanya tidak demikian. Dalam perjalanannya beberapa tahun terakhir, kedua insentif ini malah tidak banyak yang melirik. Bahkan pada 2017, tak satu pun perusahaan mengajukan diri untuk mendapatkan tax allowance maupun tax holiday. “Sepinya peminat insentif ini bukan karena masyarakat yang malas mengajukan. Melainkan karena pemberiannya kan tidak sederhana,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani.
Menurutnya, selama ini perusahaan seperti diombang-ambing dalam mengurus kedua insentif fiskal itu. “Saya rasa perlu ada kejelasan apakah pengajuannya itu diterima atau ditolak,” katanya. Memang bukan berarti kebijakan ini sama sekali tidak menelurkan hasil. Tercatat pada 2015 setidaknya ada 11 perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan fasilitas tax holiday, di antaranya PT Unilever. Namun demikian, setelah periode tersebut tidak ada lagi pengembangan berarti. Untuk menarik lebih banyak peminat, pemerintah lalu mengubah ketentuannya sampai dua kali. Yakni, lewat PMK 159/PMK.010/2015 dan PMK 103/PMK.010/2016 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Di saat bersamaan, pemerintah juga merevisi beleid tax allowance lewat PP No. 18/2015 dan PP No. 9/2016 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) untuk Penanaman Modal di Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah Tertentu. Hasilnya, ya di 2017 tadi: tak ada satu pun perusahaan yang memanfaatkan tax holiday. Kondisi itu sempat membuat jengkel Menteri Keuangan Sri Mulyani. “Ya kami akan lihat, kenapa tidak ada yang mengajukan? Apa tidak menarik atau perlu insentif lain? Apa sih kondisi yang bisa menjadi trigger mereka untuk ekspansi usaha,” kata Sri Mulyani saat itu. Tak lama berselang, tepatnya sekitar April 2018, pemerintah akhirnya kembali merevisi aturan tax holiday yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 35/ PMK.010/2018. Beleid ini merupakan revisi dari PMK Nomor 103/ PMK.010/2016. Untuk menyedot lebih banyak lagi penanaman modal baru pada industri pionir, dalam PMK 35 itu pemerintah menurunkan nilai investasi minimum. Dari sebelumnya Rp 1 triliun menjadi hanya Rp 500 miliar. Tapi lagi-lagi, revisi itu tidak ampuh menarik minat investor. Saat itu, tercatat hanya delapan investor yang mengajukan tax holiday. Mereka berasal dari industri ketenagalistrikan, industri penggilingan baja, industri baja dan baja dasar, serta industri logam dasar bukan besi. Total rencana investasi mereka mencapai Rp 161,3 triliun. Kedelapan penanam modal itu berasal dari China, Hong Kong, Singapura, Jepang, Belanda, dan Indonesia. Target penyerapan tenaga kerja dari delapan investor tersebut keseluruhan sebanyak 7.911 orang. Setali tiga uang dengan tax holiday, jumlah investor yang mengajukan permohonan tax allowance juga tidak banyak. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mencatat mencatat, sepanjang tahun lalu hanya menerbitkan delapan surat keterangan (SK) fasilitas tax allowance. Jumlah itu sama dengan tahun ini. Memang, pencapaian itu lebih baik ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Tapi pemerintah belum puas. Terlebih tekanan ekonomi global mulai terasa akibat pecahnya perang dagang Amerika Serikat (AS) versus Tiongkok. Upaya untuk meningkatkan daya tarik investasi pun terus dilakukan demi mendorong pertumbuhan ekonomi. Maka, pada 27 November 2018, pemerintah kembali merevisi PMK No. 35/2018 terwebut dengan menerbitkan PMK Nomor 150/PMK.010/2018. Melihat isinya, tawaran insentif kali ini memang lebih menarik. Aturan tersebut memperluas klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) menjadi 169 KBLI – dari sebelumnya 153 KBLI. Pemerintah juga melonggarkan ketentuan dan syarat penanaman modal yang bisa menikmati tax holiday. Misalnya, ada kesempatan bagi pengusaha industri pioner yang ingin mendapatkan insentif tax holiday dan mini tax holiday, meski mereka tidak berada di KBLI. Untuk cakupan industri yang tercantum di KBLI, permohonan tax holiday cukup melalui sistem layanan di online single submission (OSS). Sedangkan permohonan tax holiday di luar KBLI harus dibahas di lintas kementerian. “Untuk revisi terakhir, hasilnya cukup memuaskan,” kata Iskandar Simorangkir, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan, Kementerian Koordinator (Kemko) Bidang Perekonomian. Ia menjelaskan, berkat kebijakan tax holiday terbaru, investasi di Indonesia kian bertambah. Kini ada 45 wajib pajak yang telah disetujui dengan nilai investasi mencapai Rp 525 triliun. Investasi sebesar itu nantinya bakal mampu menyerap 32.410 tenaga kerja. “Yang paling besar itu petrokimia, investasinya sampai Rp 40 triliun lebih untuk satu perusahaan saja. Dan, yang sudah riil investasi di atas 12%,” jelasnya. Adapun 45 investor tersebut berasal dari 12 negara yang tertarik berinvestasi di 16 provinsi. Iskandar menyebutkan, negara China dan Korea Selatan mengucurkan nominal investasi terbesar. Lalu, disusul oleh Amerika Serikat (AS) dan Singapura. Iskandar mengatakan, sebagian besar investasi tersebut untuk sektor industri pengolahan tambang, seperti pengolahan nikel di Morowali. Ada pula pengolahan aluminium, baja, dan bauksit. “Memang yang kami dorong sektor industri pengolahan, karena padat karya, banyak menyerap tenaga kerja. Tapi ada juga sektor lain seperti infrastruktur, perkebunan, dan sektor-sektor lain yang potensial,” katanya. Sementara, insentif tax allowance berhasil menyerap investasi sebesar Rp 285,8 triliun dengan realisasi investasi hingga saat ini mencapai Rp 181,6 triliun. Insentif ini diberikan atas 158 kegiatan dan dinikmati oleh 140 wajib pajak. Kinerja itu tercatat sepanjang insentif tersebut diberlakukan sejak 2007 silam. Nah, supaya bisa mendongkrak investasi lebih banyak lagi, pemerintah kembali merevisi aturan tentang fasilitas tax holiday dan tax allowance. Revisi aturan Khusus beleid tax allowance baru diterbitkan awal bulan ini dan berlaku resmi pertengahan Desember 2019. Sementara revisi beleid tax holiday masih dibahas di internal pemerintah. Rancangan calon beleid ini khusus merevisi aturan tentang tax holiday di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Yakni, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2015 tentang Fasilitas dan Kemudahan KEK. Perubahan tersebut lantaran selama ini banyak multitafsir terkait besaran penanaman modal dan insentif fiskal yang dapat diperoleh kalangan investor. Melalui perubahan regulasi itu, nantinya jangka waktu pemberian fasilitas tax holiday di KEK akan bersifat tetap (fixed); tidak lagi dalam kisaran tahun seperti sebelumnya. “Dulu kan masih pakai range untuk nilai investasi sekian, akan dapat tax holiday untuk jangka sekian hingga sekian tahun. Itu akan diubah jadi fixed periode tahunnya supaya memberi kepastian,” kata Rofyanto Kurniawan, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan. Sebelumnya, dalam PP 96/2015, untuk kegiatan utama dengan nilai investasi lebih dari Rp 1 triliun mendapat fasilitas tax holiday sebesar 20%–100% selama 10 tahun–25 tahun. Lalu untuk kegiatan utama dengan nilai investasi Rp 500 miliar sampai Rp 1 triliun mendapat insentif tax holiday 20%–100% selama 5 tahun–15 tahun. Sementara untuk KEK tertentu yang ditetapkan, seperti KEK Bitung, KEK Morotai, dan KEK Sorong, dengan nilai investasi lebih kecil dari Rp 500 miliar, mendapatkan tax holiday 20%-100% selama 5 tahun–15 tahun. Dalam revisi PP yang rencananya terbit dalam waktu dekat ini, pemerintah mengubah kriteria itu untuk memberi kepastian bahwa setiap investor di KEK akan mendapatkan fasilitas tax holiday sebesar 100%. Yang membedakan hanyalah periode waktu yang ditetapkan untuk rentang nilai penanaman modal tertentu. Untuk nilai investasi Rp 100 miliar sampai dengan kurang dari Rp 500 miliar mendapat tax holiday 100% untuk periode lima tahun. Nilai investasi Rp 500 miliar sampai kurang dari Rp 2,5 triliun juga mendapat tax holiday 100% dengan periode tujuh tahun. Nilai investasi Rp 2,5 triliun sampai kurang dari Rp 7,5 triliun diberikan tax holiday 100% selama 10 tahun. Sementara, nilai investasi Rp 7,5 triliun sampai kurang dari Rp 20 triliun akan mendapatkan tax holiday 100% selama 15 tahun. Adapun investasi di atas Rp 20 tahun mendapat tax holiday 100% selama 20 tahun. Untuk semua besaran nilai investasi tersebut, pemerintah memberikan perpanjangan tax holiday sebesar 50% untuk masa transisi selama dua tahun. Sementara, untuk mini tax holiday, yaitu sebesar 50%, diberikan pada nilai investasi sebesar Rp 20 miliar sampai kurang dari Rp 100 miliar untuk periode lima tahun. Perpanjangan tax holiday sebesar 25% diberikan untuk masa transisi selama dua tahun. Akan tetapi tidak semua investor KEK mendapatkan fasilitas insentif tersebut. Iskandar menyebut, hanya investor yang berinvestasi sesuai dengan potensi KEK itu saja yang mendapatkan insentif. “Tidak semua, hanya yang investasi core daerahnya saja. Misal KEK Sei Mangke itu hanya investasi sawit dan turunannya saja yang dapat karena kita mau kembangkan industri sawit dan turunannya di sana,” terangnya.
Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti Institute for Development of Economic and Finance (Indef), menyatakan, problem investasi yang rendah di Indonesia bukan selalu faktor pajak. Dalam indeks daya saing, permasalahan nomor satu sampai lima teratas lebih ke arah birokrasi, korupsi, produktivitas tenaga kerja yang rendah, dan infrastruktur. "Jadi, insentif fiskal bukan obat segala hambatan investasi, cetusnya. Tax holiday dan tax allowance doang belum cukup. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Havid Vebri