KONTAN.CO.ID - Musim suka cita bagi petani tebu telah tiba: musim giling. Sejak akhir Mei lalu, petani mulai menebang tebu dan menyetorkan ke pabrik gula. Inilah musim menuai hasil jerih payah berbulan-bulan sejak tanam hingga tebu memasuki usia masak. Masalahnya, seperti tahun-tahun sebelumnya, petani dihantui harga gula yang rendah. Obral impor dengan dalih pandemi membuat impor gula datang tidak terkendali. Kala tiba menjelang musim giling, gula impor di pasar bagaikan racun bagi petani dan pabrik gula (PG). Untungnya, saat ini petani punya pilihan: menggiling tebu ke PG dengan sistem bagi hasil atau menjual tebu dengan sistem putus. Sebelum ada sistem beli putus, relasi petani-PG diikat lewat sistem bagi hasil. Karena tak punya lahan, PG bergantung pada tebu petani. Karena tak punya pabrik, petani menggiling tebu untuk diolah jadi gula di PG. PG mendapat 34% gula sebagai upah giling, 66% sisanya milik petani. Petani juga mendapat tetes 3 kg/kuintal tebu. Besar-kecilnya gula yang diterima petani ditentukan oleh bobot tebu dan rendemen. Kian besar bobot tebu dan rendemen, kian besar gula yang diterima petani. Demikian pula sebaliknya. Ini sebagian besar terjadi di PG BUMN. Masalahnya, relasi petani-PG masih diwarnai distrust. Di satu sisi, petani tidak mempercayai rendemen hasil pengukuran di PG. Distrust ini berurat akar dari pengukuran yang tidak transparan. Rendemen diukur secara kolektif, bukan individual. Ini disinsentif buat petani yang kualitas tebunya bagus. Di sisi lain, PG juga tidak sepenuhnya percaya terhadap kualitas tebu petani yang disetorkan ke PG. Petani hanya mengejar bobot tebu, tapi abai kualitas yang tercermin pada rendemen. Tebu yang disetor juga terkadang kotor.
Beli Putus Tebu Versus Sistem Bagi Hasil
KONTAN.CO.ID - Musim suka cita bagi petani tebu telah tiba: musim giling. Sejak akhir Mei lalu, petani mulai menebang tebu dan menyetorkan ke pabrik gula. Inilah musim menuai hasil jerih payah berbulan-bulan sejak tanam hingga tebu memasuki usia masak. Masalahnya, seperti tahun-tahun sebelumnya, petani dihantui harga gula yang rendah. Obral impor dengan dalih pandemi membuat impor gula datang tidak terkendali. Kala tiba menjelang musim giling, gula impor di pasar bagaikan racun bagi petani dan pabrik gula (PG). Untungnya, saat ini petani punya pilihan: menggiling tebu ke PG dengan sistem bagi hasil atau menjual tebu dengan sistem putus. Sebelum ada sistem beli putus, relasi petani-PG diikat lewat sistem bagi hasil. Karena tak punya lahan, PG bergantung pada tebu petani. Karena tak punya pabrik, petani menggiling tebu untuk diolah jadi gula di PG. PG mendapat 34% gula sebagai upah giling, 66% sisanya milik petani. Petani juga mendapat tetes 3 kg/kuintal tebu. Besar-kecilnya gula yang diterima petani ditentukan oleh bobot tebu dan rendemen. Kian besar bobot tebu dan rendemen, kian besar gula yang diterima petani. Demikian pula sebaliknya. Ini sebagian besar terjadi di PG BUMN. Masalahnya, relasi petani-PG masih diwarnai distrust. Di satu sisi, petani tidak mempercayai rendemen hasil pengukuran di PG. Distrust ini berurat akar dari pengukuran yang tidak transparan. Rendemen diukur secara kolektif, bukan individual. Ini disinsentif buat petani yang kualitas tebunya bagus. Di sisi lain, PG juga tidak sepenuhnya percaya terhadap kualitas tebu petani yang disetorkan ke PG. Petani hanya mengejar bobot tebu, tapi abai kualitas yang tercermin pada rendemen. Tebu yang disetor juga terkadang kotor.