Belum Ada Tata Kelola, Potensi yang Hilang dari Komoditas Kelapa Capai Rp 89,8 T



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) mengakui banyak potensi ekonomi yang hilang dari komoditas kelapa lantaran belum maksimalnya tata kelola di sektor komoditas ini. 

Staf Ahli Menteri PPN Bidang Pembangunan Sektor Unggulan dan Infrastruktur Bappenas Leonardo A.A Teguh Sambodo mencatat, potensi ekonomi yang terbuang mencapai Rp 89,9 triliun. 

"Pada saat ini produk kita dikelola paling banyak untuk kopra itu mencapai 52% dan itu banyak yang terbuang seperti tempurung, sabut dan air," kata Teguh dalam media briefing di Jakarta, Jum'at (27/9). 


Teguh merinci komponen lain dari kelapa seperti air, sabut kelapa hingga tempurung masih belum dimanfaatkan secara maksimal. 

Baca Juga: Potensi Ekonomi Kelapa RI Jumbo, Tapi Masih Kalah dengan Filipina

Padahal, secara nilai keekonomian seluruh bagian dari kelapa dapat menghasilkan pendapatan negara mencapai triliuan. 

"Air kelapa saja kalau bisa dikumpulkan itu mencapai 3,6 juta ton atau kalau di ekspor nilainya US$ 5,2 miliar (Rp 79,4 triliun) setara dengan ekspor karet," tambah Teguh. 

Kemudian, potensi nilai ekonomi dari sabut kelapa dan tempurung kelapa yang terbuang masing-masing sebesar US$ 320 juta atau setara Rp 5,6 triliun dan US$ 373 juta atau setara Rp 4,8 triliun. 

Maka jika ditotal, potensi ekonomi yang hilang dari komoditas kelapa selama ini bisa mencapai Rp 89,8 triliun.  

Teguh mengakui banyak hal yang masih perlu diperbaiki agar nilai ekonomi dari kelapa ini tak kalah seksi dengan sektor kelapa sawit. 

Ada beberapa isu strategis yang selama ini menjadi kendala. Beberapa diantaraya seperti budidaya dengan konsep tradisional, sehingga produktivitas relatif rendah. 

Kemudian, proporsi kelapa tua dan kelapa rusak yang tinggi, tenaga penyuluh perkelapaan tidak ada dan produksi benih terbatas. 

Dari segi pengolahan, utilisasi industri juga masih rendah hanya mencapai 40-45%. Hal ini tak lain juga disebabkan karena masalah kurangnya pasokan bahan baku. 

"Pada periode tertentu (bahan baku) tidak selalu ada, karena indonesia masih memperbolehkan ekspor kelapa bulat," jelasnya. 

Selain itu, investasi di komoditas ini juga terbatas yang membuat minimnya penerapan teknologi dan inovasi. Dampak lain, diversifikasi menuju produk bernilai tambah tinggi juga terbatas. 

Selanjutnya: Perkuat Pasar Motor Listrik, United E-Motor Luncurkan Avand SC 121 dan SC 122

Menarik Dibaca: Jawa Berstatus Waspada Bencana, Ini Peringatan Dini Cuaca Besok (28/9) Hujan Deras

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat