JAKARTA. Pemerintah dan DPR mulai melanjutkan pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Perlindungan Pekerja di Luar Negeri (PPILN). Hanya saja pembahasan RUU ini belum masuk pada masalah substansi, dan cenderung memperdebatkan penggunaan istilah. Misalnya pemerintah ngotot menggunakan istilah penempatan tenaga kerja, sementara DPR ingin memakai istilah perlindungan. Perdebatan lain misalnya DPR meminta tidak ada lagi penyebutan istilah tenaga kerja Indonesia (TKI) tapi memakai sebutan pekerja luar negeri. Nurus S. Mufidah, Koordinator Jaringan Advokasi Revisi UU PPILN, menilai, sikap pemerintah yang seperti itu akibat masih memandang TKI sebagai komoditas semata. "Sikap pemerintah menunjukkan tidak ada political will untuk memberikan perlindungan terhadap TKI," ujarnya, Selasa (9/4).
Cara pandang pemerintah yang menganggap tenaga kerja di luar negeri sebagai komoditas juga terlihat dari usulan menghapuskan subtansi di daftar inventarisasi masalah (DIM) yang menyebut penempatan pekerja Indonesia ke luar negeri bukan merupakan solusi karena tidak ada lapangan kerja dalam negeri. Seharusnya pekerja Indonesia di luar negeri sebagai upaya pencarian nafkah yang bersifat sementara. Ada kesan pemerintah cenderung pragmatis dan menghindari tanggung jawab untuk menciptakan lapangan kerja yang layak bagi warga negara dengan cara mengekspor tenaga kerja.