KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Indonesia ternyata belum diuntungkan dari adanya peralihan perdagangan kawasan Asean dari sebelumnya ke China dan kini beralih lebih banyak ke Amerika Serikat (AS). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor non minyak dan gas (migas) Indonesia ke negeri Paman Sam tersebut hanya mencapai US$ 2,18 miliar. Ekspor non migas tersebut berada di posisi kedua yakni mencapai 10,45% kedua dari total pangsa ekspor non migas Indonesia.
Baca Juga: China Jadi Tujuan Utama Ekspor Produk Non Migas RI pada Kuartal I “Nilai ekspor non migas ke Amerika mencapai US$ 2,18 miliar, atau naik 24,46% dibandingkan April 2024,” tutur Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M. Habibullah, dalam konferensi pers, Rabu (19/10). Habibullah menyampaikan, saat ini Indonesia masih banyak melakukan ekspor ke China. Nilainya mencapai US$ 4,73 miliar, dan berkontribusi sebesar 22,63% dari total ekspor non migas. Nilai ekspor ke China tersebut juga meningkat 10,51% month to month (mtm) atau dari April 2024 yang nilainya mencapai US$ 4,28 miliar. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, Indonesia belum bisa memanfaatkan momentum tersebut karena belum melakukan perjanjian Free Trade Agreement (FTA) alias perjanjian perdagangan bebas dengan AS.
Baca Juga: Airlangga: Negara Tetangga Tak Senang Pengembangan Industri Semikonduktor Indonesia Sehingga yang menikmati momentum tersebut adalah Vietnam, Thailand, serta beberapa negara lainnya yang sebelumnya sudah melakukan kerjasama tersebut.
“Artinya pergeseran suplai memang terjadi, hanya memang kita karena belum punya full time equivalent (FTE) Pak, jadi yang diuntungkan masih Vietnam, Thailand dan beberapa negara lain di Asean.,” tutur Airlangga dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendali Inflasi 2024 di Istana Presiden, Jumat (14/6). Airlangga menambahkan, untuk memanfaatkan momentum peralihan perdagangan tersebut, saat ini pemerintah tengah mempersiapkan perjanjian FTE dengan Amerika Serikat (AS). Untuk diketahui, proses peralihan perdagangan tersebut dilakukan karena pertumbuhan ekonomi China masih lumpuh dan tak kunjung membaik. Sementara itu, momentum pertumbuhan ekonomi AS yang kini tengah menguat. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli