Belum rasakan efek tumbuh di lebaran, industri tekstil harapkan pengendalian impor



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komposisi impor yang cukup besar membuat pertumbuhan industri tekstil terpuruk dan sulit bersaing di dalam maupun di luar negeri. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan dalam 10 tahun terakhir pertumbuhan ekspor tekstil hanya kurang dari 3% sedangkan pertumbuhan impor mencapai lebih dari 20%.

Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI) Suharno Rusdi menyatakan, industri tekstil dan produk tekstil (ITPT) saat ini dalam kondisi yang sangat terpuruk di mana pasar kita dipenuhi barang impor dengan harga yang sangat murah.

“Kalau hal ini dibiarkan berlarut maka akan sangat membahayakan masa depan ITPT nasional karena kita akan semakin tergantung impor dan ITPT akan terus kehilangan pasarnya,” ujarnya dalam rilis media yang diterima Kontan.co.id, Senin (25/3).


Selanjutnya Suharno menyatakan bahwa untuk melindungi pasar dalam negeri dan meningkatkan daya saing ITPT, Indonesia sudah seharusnya memiliki UU Ketahanan Sandang.

Undang-undang ini kelak mengatur tidak hanya impor TPT dan sejenisnya, namun juga mengatur bermacam insentif dan aturan lainnya agar pengembangan industri TPT dilakukan secara berkelanjutan.

“Keberadaan undang-undang itu sangat mendesak bagi industri tekstil tanah air, IKATSI akan memperjuangkan hal ini,” imbuhnya.

Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia menyatakan bahwa pihaknya sangat berharap lebaran tahun ini menjadi momentum produk lokal untuk menguasai pasar domestik.

“Momentum terakhir kita dapat pada pertengahan 2017 ketika Bu Sri Mulyani menertibkan impor borongan, namun kondisi itu hanya bertahan 6 bulan karena pemerintah kemudian membebaskan seluruh impor TPT bebas masuk melalui Pusat Logistik Berikat (PLB),” jelas Redma.

Redma menjelaskan bahwa sudah 5 tahun terakhir ini industri TPT nasional tidak merasakan momentum lebaran, karena setiap menjelang lebaran ribuan kontainer berisi kain dan produk garment impor masuk mengisi pasar domestik. “Jadi setiap lebaran banyak pengusaha yang gigit jari,” ujarnya.

Kemudian Redma menambahkan bahwa pemerintah harus mengantisipasi terjadinya masalah perburuhan di bulan Mei nanti jika banyak pengusaha yang tidak bisa membayar Tunjangan Hari Raya (THR) pegawainya. Untuk itu pihaknya kembali meminta pemerintah khususnya Kemendag untuk segera melakukan langkah pengendalian impor.

“Kemendag jangan terus perhatikan kepentingan importir pedagang saja, sekali-kali coba perhatikan kepentingan industri,” kata Redma.

APSyFI meminta Presiden Joko Widodo untuk segera turun tangan karena permasalahan impor ini menjadi biang kerok defisit neraca perdagangan dalam dua tahun terakhir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto