KONTAN.CO.ID - Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyatakan belum saatnya moratorium ke Timur Tengah dicabut. Sebabnya, belum ada perbaikan tata kelola dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Apalagi, moratorium merupakan upaya pemerintah melindungi masyarakat. Negara melalui agenda Nawa Cita berkomitmen melindungi seluruh warga negaranya, termasuk 1,8 juta jiwa Warga Negara Indonesia yang menjadi TKI bermasalah di seluruh penjuru dunia. Upaya yang telah ditempuh pemerintah antara lain memulangkan para TKI bermasalah, dan setelah tiba di daerah asal akan diberdayakan melalui program-program pemberdayaan.
"Pemerintah telah berlakukan moratorium untuk melindungi TKI harus tetap dilakukan, khususnya Penatalaksanaan Rumah Tangga (PLRT) ke seluruh negara di Timur Tengah," kata Sekretaris Jenderal SBMI Bobby Alwi dalam keterangannya, Selasa (26/9) Menurutnya, moratorium merupakan salah satu bentuk perlindungan kepada WNI yang memilih menjadi Buruh Migran Indonesia (BMI). Kebijakan tersebut diambil oleh pemerintah sebagai akibat dari banyaknya praktik bisnis penempatan buruh migran yang tidak beres. "Sampai saat ini belum ada perbaikan tata kelola pelayanan TKI. Jadi, pencabutan moratorium belum tepat dilakukan," ujarnya. Sebanyak 70% persoalan buruh migran bermula dari dalam negeri. Misalnya masalah-masalah pra penempatan yang memposisikan TKI sebagai komoditas dagang. Sisanya adalah masalah di negara tujuan yang secara kultural memang berbeda dengan Indonesia. "Alangkah lebih baik jika penempatan di negara yang secara kultural berbeda jauh (menganggap TKI sebagai budak) dihentikan, seperti penempatan di Timur Tengah dengan banyaknya korban perdagangan manusia," jelasnya. Seperti kasus terbaru yang dipantau SBMI. Nasib kurang beruntung menimpa Masniah Binti Misnam (24), TKW asal Kampung Waliwis Utara, Desa Waliwis, Kecamatan Mekar Baru, Kabupaten Tangerang, Banten yang bekerja di Timur Tengah. Masniah dimasukkan ke tahanan di daerah Sahab, Jordania oleh majikannya yang berinisial AF dan ZM, atas tuduhan telah melakukan sihir. Ia juga dituduh bersekongkol dengan pencuri yang diduga telah mencuri uang majikannya sebesar 3.000 Dinar. Oleh karena itu, rencana pencabutan moratorium oleh BNP2TKI sama saja dengan mempertaruhkan nyawa TKI hanya untuk kepentingan bisnis.
Diskriminasi pun sudah ada pada kebijakan yang telah dibuat pemerintah terhadap mekanisme penempatan. TKI formal selama ini diberangkatkan pemerintah, sedangkan TKI non formal/ pekerja rumah tangga dengan kecenderungan lemah secara SDM) malah diurus oleh swasta. Peningkatan kualitas pendidikan di Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) untuk buruh migran rasanya hanya isapan jempol belaka. Karena, masih banyak buruh migran yang diberangkatkan, padahal kemampuannya belum memenuhi. "Apalagi, banyak negara penempatan TKI yang tidak memiliki regulasi bagus untuk buruh migran. Tak heran hal ini berakibat semakin banyaknya individu bermasalah di negara penempatan, " imbuhnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto