KONTAN.CO.ID - Kenaikan tarif iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hingga 100% dan defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menjadi masalah yang sangat serius dan berpengaruh pada hajat hidup masyarakat luas. Benang kusut persoalan yang bertumpuk mulai dari sistem kepesertaan, manajemen iuran, tunggakan iuran, subsidi yang kurang tepat sasaran, tunggakan klaim rumah sakit, keluhan pelayanan, hingga akses kesehatan yang belum optimal membuat semuanya memandang akar persoalan terletak pada kesalahan tata kelola. Komisi IX DPR RI memandang kenaikan iuran untuk peserta Kelas I dan II dapat dirasionalisasi. Meski demikian, hal ini masih menyisakan banyak pertanyaan mengenai manajemen pengelolaan dan pengambilan kebijakan yang tidak memberikan terobosan baru. Pukul rata kenaikan iuran yang juga menyasar Kelas III dengan tegas tidak dapat diterima. Pasalnya, dampak kebijakan ini amat dirasakan kelompok masyarakat bawah, terutama peserta bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) alias peserta mandiri. Dalam Rapat Gabungan Komisi IX dan Komisi XI DPR dengan beberapa kementerian pada 2 September 2019 lalu, disepakati bahwa iuran BPJS Kesehatan peserta mandiri Kelas III tidak dinaikkan. Rapat juga menyepakati perbaikan sistem kepesertaan dan manajemen iuran, termasuk kolektibilitas iuran dan percepatan data cleansing (pembersihan dan perbaikan data). Namun, Peraturan Presiden (Perpres) No. 75 Tahun 2019 yang dirilis 24 Oktober 2019 lalu menyatakan kenaikan 100% semua kelas. Parlemen menjadi gusar karena pemerintah dan jajaran manajemen BPJS Kesehatan dianggap melanggar kesepakatan.
Benang Kusut BPJS Kesehatan
KONTAN.CO.ID - Kenaikan tarif iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hingga 100% dan defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menjadi masalah yang sangat serius dan berpengaruh pada hajat hidup masyarakat luas. Benang kusut persoalan yang bertumpuk mulai dari sistem kepesertaan, manajemen iuran, tunggakan iuran, subsidi yang kurang tepat sasaran, tunggakan klaim rumah sakit, keluhan pelayanan, hingga akses kesehatan yang belum optimal membuat semuanya memandang akar persoalan terletak pada kesalahan tata kelola. Komisi IX DPR RI memandang kenaikan iuran untuk peserta Kelas I dan II dapat dirasionalisasi. Meski demikian, hal ini masih menyisakan banyak pertanyaan mengenai manajemen pengelolaan dan pengambilan kebijakan yang tidak memberikan terobosan baru. Pukul rata kenaikan iuran yang juga menyasar Kelas III dengan tegas tidak dapat diterima. Pasalnya, dampak kebijakan ini amat dirasakan kelompok masyarakat bawah, terutama peserta bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) alias peserta mandiri. Dalam Rapat Gabungan Komisi IX dan Komisi XI DPR dengan beberapa kementerian pada 2 September 2019 lalu, disepakati bahwa iuran BPJS Kesehatan peserta mandiri Kelas III tidak dinaikkan. Rapat juga menyepakati perbaikan sistem kepesertaan dan manajemen iuran, termasuk kolektibilitas iuran dan percepatan data cleansing (pembersihan dan perbaikan data). Namun, Peraturan Presiden (Perpres) No. 75 Tahun 2019 yang dirilis 24 Oktober 2019 lalu menyatakan kenaikan 100% semua kelas. Parlemen menjadi gusar karena pemerintah dan jajaran manajemen BPJS Kesehatan dianggap melanggar kesepakatan.