Rakyat menunggu kepemimpinan nasional yang visioner dalam mengelola sumber daya alam (SDA). Kepemimpinan yang mampu membebaskan bangsanya dari fenomena penyakit Belanda, serta mampu menyusun neraca SDA yang kredibel dan berbasis teknologi terkini. Selama ini, kontraktor nasional maupun asing melakukan pengerukan SDA secara besar-besaran, tanpa menimbulkan proses nilai tambah yang signifikan. Karena hanya dilakukan sebatas mengekspor bahan mentah, namun minim proses pengolahan. Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) 2019-2024 seharusnya memiliki konsep aktual untuk mengatasi fenomena natural resource curse, yakni munculnya paradoks yang dihadapi suatu negara yang memiliki SDA melimpah. Ironisnya, dari segi tingkat pertumbuhan ekonomi dan aktivitas pembangunan, negara tersebut justru cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lain, yang justru tidak memiliki SDA.
Salah satu teori ekonomi yang menunjukkan fenomena natural resource adalah teori Dutch Disease atau penyakit Belanda. Disebut demikian karena pernah dialami oleh negara Belanda. Teori tersebut pertama kali mengemuka di majalah The Economist pada 1997 untuk menjelaskan penurunan sektor industri manufaktur di Belanda setelah penemuan sumber gas alam besar di tahun 1959. Dutch disease merupakan fenomena dan teori yang menunjukkan hubungan antara peningkatan eksploitasi SDA dengan penurunan daya saing sektor industri. Kegiatan eksploitasi dan ekspor SDA besar-besaran (booming sector) di suatu negara akan mendorong apresiasi nilai tukar mata uang negara tersebut. Apresiasi nilai tukar tersebut akan berdampak pada menurunnya daya saing ekspor barang yang dihasilkan sektor produksi lain, selain sektor ekstraktif SDA, dalam hal ini sektor industri atau manufaktur negara tersebut. Dengan kata lain, secara tidak langsung fenomena natural resource curse dan Dutch disease telah menjadi salah satu penyebab terjadinya deindustrialisasi pada sebuah negara yang memiliki SDA melimpah. Para capres perlu menyadari bahwa bangsa ini belum memiliki sistem neraca SDA yang baik untuk mengelola usaha pertambangan, baik berskala nasional maupun lokal. Padahal, dengan adanya sistem neraca SDA yang canggih dan akurat, bisa dilakukan valuasi ekonomi total usaha pertambangan untuk kepentingan rakyat. Indonesia membutuhkan sistem neraca SDA spasial, yakni perangkat atau aplikasi digital untuk menghitung ketersediaan dan pemanfaatan SDA dalam satu entitas geografis tertentu untuk mengetahui kondisi yang terkini. Sistem tersebut sangat berguna untuk penyusunan kebijakan pembangunan lintas sektoral. Dari kacamata disiplin ilmu, sistem neraca SDA spasial merupakan pendekatan yang bersifat analisis kualitatif dan kuantitatif tentang potensi SDA. Sistem tersebut sebaiknya bersifat spasial dan gampang diakses oleh publik, sehingga ada transparansi publik yang berkaitan dengan dengan usaha pertambangan. Selain itu, pentingnya untuk membuat peta kondisi fisik sumber daya terkait kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar usaha pertambangan. Perekaman kondisi SDA dan nilai ekonomi dalam bentuk peta digital bisa memecahkan persoalan secara kredibel dan independen. Selain itu, sangat berguna untuk audit lingkungan dan bisa dijadikan referensi jika terjadi sengketa bagi hasil lintas daerah atau sengketa dengan masyarakat sekitar. Hingga saat ini pemerintah belum memiliki sistem informasi yang komprehensif dan akurat mengenai letak dan jumlah kandungan SDA pertambangan secara detail. Hal ini menyebabkan perusahaan pertambangan cenderung berlaku curang, dalam arti menekan harga sewa atau bagi hasil tambang sekecil-kecilnya. Kondisinya juga bisa sebaliknya, yakni dengan menaikan nilai tambang melebihi nilai yang sebenarnya untuk mengelabuhi. Selain itu, kesalahan besar terkait dengan usaha pertambangan adalah kurangnya pengawasan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan eksploitasi. Sistem pengawasan yang tidak berjalan dengan baik, serta adanya kolusi menyebabkan eksploitasi SDA secara berlebihan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan menyebabkan kesejahteraan masyarakat sekitar merosot. Tak hanya itu, sering pula terjadi manipulasi teknologi terkait dengan peta lingkungan yang tidak sesuai dengan skala yang semestinya. Para kandidat capres yang bertarung dalam Pilpres 2019 setelah terpilih, akan berhadapan dengan masalah berat terkait dengan penyakit Belanda beserta inversi dan turunannya. Tidak ada jalan keluar yang mulus untuk mengatasi penyakit diatas. Yang ada hanyalah jalan terjal dan berliku. Jalan keluar yang paling realistis untuk mengatasi efek fenomena inversi penyakit Belanda adalah penguatan industrialisasi nasional yang berbasis mekanisasi pertanian yang tepat guna atau tepat produksi. Bukan padat teknologi yang mengedepankan komponen impor. Keniscayaan bagi Indonesia agar totalitas mengembangkan industri pengolahan berbasis SDA. Betapa memprihatinkan melihat kondisi produksi industri pengolahan besar dan sedang pada saat ini mengalami pertumbuhan negatif. Padahal, sektor industri pengolahan merupakan salah satu diantara sektor-sektor ekonomi yang menjadi andalan dalam perekonomian Indonesia dan mudah menyerap lapangan kerja secara masal. Bahkan, kontribusi sektor industri pengolahan non migas terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari seperlima total PDB sejak 2008. Data terkini menunjukkan terjadi penurunan kemampuan industri nasional menyeimbangkan neraca nilai ekspor dan impor secara signifikan. Secara makro ketidak seimbangan ini disebabkan oleh beberapa faktor yang melingkupinya, tetapi seringkali yang dijadikan fokus adalah pada masalah efisiensi dan produktivitas. Perlu kajian komprehensif yang menyorot pada faktor makro atau ekosistem dimana industri nasional beroperasi. Ironisnya, sederet paket regulasi yang telah dilakukan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla belum diikuti oleh pemahaman yang sama dikalangan internal pelaku industri sendiri. Akibatnya strategi dasar pelaku industri tidak bisa dijalankan.
Seperti strategi biaya produksi rendah (low cost leadership strategy), strategi segmentasi pasar (focus strategy), dan strategi diferensiasi produk (differentiated product strategy). Padahal, ini merupakan tiga strategi unggulan yang mesti diterapkan dalam memenangkan persaingan global. Sektor industri pengolahan mesti dikembangkan secara total supaya memiliki kontribusi yang signifikan bagi perekonomian. Tercatat, kontribusi sektor pengolahan dalam perekonomian Indonesia mencapai puncaknya pada 2004 ketika kontribusi sektor tersebut mencapai kisaran 28%. Meskipun begitu, secara komparatif angka tersebut bisa dikatakan masih rendah jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Jepang sekitar 36% atau Uni Eropa sekitar 32%.•
Totok Siswantara Pengkaji Transformasi Teknologi dan Industri Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi