KONTAN.CO.ID - RIYADH. Situasi geopolitik di Timur Tengah tiba-tiba memanas dalam beberapa hari terakhir. Kebijakan pemberantasan anti korupsi di Arab Saudi yang sangat mendadak terbilang mengejutkan dunia. Apalagi, dalam kejadian itu, 11 pangeran ditahan. Tak sampai di situ, Perdana Menteri Lebanon mengundurkan diri. Kemudian, ada deklarasi perang yang diumumkan oleh Iran. Apa yang sebenarnya terjadi? Mari kita mulai dengan kondisi politik di Arab Saudi. Rezim yang palingĀ berkuasa di Timur Tengah mengejutkan banyak pihak pada akhir pekan lalu dengan menggelar aksi pembersihan korupsi para pejabat dan mantan pejabatnya.
Aksi bersih-bersih itu dipimpin oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman, putra Raja dan pewaris takhtanya, yang saat ini juga membentuk komisi anti korupsi baru. Terlepas dari asal-usul tindakan keras tersebut, anggota keluarga kerajaan Saudi juga tidak luput dari upaya pembersihan ini. Selain empat menteri yang kini masih menjabat, sejumlah orang yang ditahan juga merupakan mantan menteri pemerintah dan pengusaha. Setidaknya ada 11 pangeran yang ditangkap, termasuk di antaranya keponakan Raja Salman, miliarder Pangeran Alwaleed bin Talal. Sejumlah analis memandang aksi bersih-bersih ini merupakan upaya Pangeran Mahkota Mohammed bin Salman, yang memiliki agenda reformasi, untuk mengonsolidasikan kekuasaannya menuju tahkta kerajaan saat sang ayah Raja Salman yang kini berusia 81 tahun mengundurkan diri, yang dipredikai akan dilakukan dalam beberapa bulan ke depan. Ada juga pandangan lain yang melihat bahwa sang putra mahkota menargetkan untuk menyingkirkan pesaingnya yang konservatif yang bisa menjegal rencananya untuk melakukan perubahan di negara itu. Sebuah sinyal lain menunjukkan bahwa bakal ada aksi lain dalam penanganan korupsi di Arab Saudi. Hal itu terungkap dari pernyataan penasihat hukum Arab Saudi bahwa penangkapan pada akhir pekan lalu merupakan fase pertama dalam penerapan kebijakan anti korupsi di Arab Saudi. Ada kecemasan bahwa kebijakan ini akan membuat investor takut. Emad Mostaque, co-chief investment officer Capricorn Fund Managers, kepada
CNBC mengatakan bahwa muncul sebuah pertanyaan apakah aksi sang putra mahkota sudah terlalu jauh? "Dia (Mohammed bin Salman) menjadi orang yang sangat menentukan saat ini dalam menyelesaikan semuanya, tapi pertanyaannya adalah apakah dia pernah berbelok dari garis batas yang ada dan melampaui apa yang dikatakan undang-undang -yang tentu saja dapat dia ubah- dan terlalu berlebihan dalam hal tindakan kerasnya?" kata Mostaque. Aksi perang Seakan tidak cukup sibuk dengan aksi pembersihan korupsi, Arab Saudi kembali mengejutkan dunia pada Senin (6/11) lalu dengan menuduh Iran berada di balik serangan rudal balistik yang dilakukan oleh kelompok militan Houthi di Yaman. Rudal tersebut berhasil dijatuhkan saat menuju Riyadh, ibukota Arab Saudi. Arab Saudi tentu saja mengutuk aksi peluncuran rudal tersebut. Selain itu, Arab Saudi menuding Iran berada di balik kejadian yang disebut sebagai "agresi militer yang menyolok", di mana Iran telah memasok kelompok militan Houthi di Yaman dengan senjata rudal. Saat ini, memang tengah terjadi perang sipil di Yaman, antara kelompok pemberontak militan Houthi dengan pasukan aliansi yang mendukung Presiden Yaman Abrabbuh Mansour Hadi. Kendati demikian, konflik ini juga merupakan
proxy war antara Arab Saudi dengan Iran, yang berkaitan pula dengan persaingan ideologi Islam Sunni dan Syiah. Kelompok Sunni Arab Saudi mendukung pemerintahan Presiden Hadi, pesaingnya Iran mendukung kelompok pro-syiah Houthi yang loyal dengan mantan presiden Yaman Ali Abdulla Saleh. Pada Selasa, Mohammed bin Salman dilaporkan telah berbicara dengan Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson dalam sebuah telepon, bahwa negaranya melihat rudal Houthi yang diarahkan ke Riyadh merupakan agresi militer langsung oleh rezim Iran. Terkait hal itu, Arab Saudi mempertimbangkan kejadian tersebut sebagai perang terhadap Kerajaan. Pengunduran Perdana Menteri Lebanon Adanya perbedaan religi dan persaingan terhadap pengaruh di Timur Tengah menyebabkan Arab Saudi dan Iran mendukung sisi-sisi yang berlawanan, tidak hanya di Yaman, melainkan juga di Suriah, Qatar, dan Lebanon. Pada Sabtu (4/11), Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri yang merupakan aliansi Sunni Arab Saudi, mengejutkan dunia dengan menyatakan pengunduran dirinya. Alasannya adalah ancaman pembunuhan dan menyalahkan aksi ikut campur Iran di Lebanon. Hariri juga mengkritik kian meningkatnya dominasi kelompok militan syiah yang disokong Iran dan partai politik Hezbollah. Namun Iran membantah hal itu. Arab Saudi menilai Lebanon menyatakan perang Satu deklarasi perang sepertinya tidak cukup bagi Arab Saudi. Pada Senin lalu, Arab Saudi menyatakan bahwa Lebanon secara efektif mendeklarasikan perang terhadap negaranya karena agresi dari Hezbollah, yang mewakili parlemen Lebanon dan merupakan bagian dari koalisi pemerintahan Hariri.
Menteri Hubungan Teluk Saudi Thamer al Sabhan mengatakan, pemerintah Lebanon mendeklaraikan perang dan akan berhadapan dengan pemerintah Arab Saudi. "Lebanon harus mengetahui risiko dari hal ini dan berupaya untuk memperbaiki masalah yang ada sebelum mereka mencapai titik yang tidak dapat kembali," jelas al Sabhan. Perang kata-kata tersebut telah memicu kecemasan di Timur Tengah bahwa ada kemungkinan meningkatnya ketegangan yang dramatis antar negara, khususnya Arab Saudi dan Iran. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie