Benarkah daya beli menurun? Ini pendapat Rhenald



JAKARTA. Guru besar Universitas Indonesia Rhenald Kasali punya pandangan berbeda perihal kondisi perekonomian, terutama dalam tataran mikro. Benarkah saat ini mulai mengindikasikan adanya pelemahan daya beli konsumen?

Rhenald justru meragukannya. Menurutnya, yang terjadi sekarang adalah uang sedang berpindah (shifting) dari kalangan menengah ke atas ke ekonomi rakyat. “Dan para elit sekarang sedang sulit karena peran sebagai "middleman" mereka pudar akibat disruptive innovation, lalu meneriakkan "daya beli turun,” ujarnya Jumat (28/7).

Rhenald mengambil tiga contoh untuk memperkuat pendapatnya. Pertama, perusahaan logistik JNE. Menurutnya jaringan logistik JNE kini market sharen-ya sudah di atas PT Pos dan semua perusahaan e-commerce menjalin kerja sama. Kondisi ini memaksa JNE untuk meningkatkan pelayanan dimana dalam beberapa bulan terakhir terus melakukan penambahan tenaga kerja sampai dengan 500 orang.


“Tak banyak orang yang tahu bahwa konsumen dan pedagang beras di Kalimantan kini lebih banyk membeli beras dan minyak goreng via Tokopedia dari Surabaya, Lombok, Makasar dan lain-lain. Juga tak banyak yang  tahu bahwa angkutan kargo udara dari Solo naik pesat untuk pengiriman garmen dan barang-barang kerajinan. Juga dari kota-kota lainnya. Artinya usaha kecil dan kerakyatan mulai diuntungkan,” paparnya.

Kedua, retailer. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) penjualan yang dicapai anggotanya pada semester 1 2017 ini turun 20%. Kondisi ini mengikuti pola angkutan taksi yang sudah turun sekitar 30-40% pada tahun lalu.

Apakah karena daya beli? Bukan, penyebabnya adalah shifting ke taxi online. Sama halnya retail dan hotel yang beralih dari konvensional ke online. “Artinya bukan daya beli drop, bukan juga karena keinginan membeli turun, melainkan terjadi shifting,” jelasnya.

Tiga, produsen besar fast moving consumer goods (FMCG). Rhenald menuturkan semua perusahaan pada sektor ini mengakui meraup kenaikan omzet 30-40%. Mulai tepung terigu milik Bogasari sampai dengan produk obat-obatan milik Kalbe Farma.

“Demand-nya masih naik pesat. Tetapi produsen seperti Gulaku mengaku drop karena kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang mulai dikontrol pemerintah,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto