KONTAN.CO.ID - Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, pada hari Minggu (10/3) mengatakan bahwa sejauh ini tentara Israel telah berhasil membunuh setidaknya 13.000 musuh selama perang di Gaza. Ironisnya, angka itu hanya sebagai kecil dari total kematian penduduk Palestina yang hingga saat ini hampir menyentuh angka 31.000. "Kami sangat dekat dengan kemenangan. Begitu kami memulai aksi militer melawan batalion teror yang tersisa di Rafah, hanya tinggal menunggu waktu beberapa minggu sampai fase pertempuran intensif selesai," kata Netanyahu, dikutip
Reuters.
Kementerian Kesehatan Gaza sejauh ini memang tidak merinci jumlah korban tewas antara warga sipil dan militan Hamas, namun mengatakan bahwa 72% dari mereka yang tewas adalah perempuan dan anak-anak.
Baca Juga: Netanyahu: Israel akan Terus Melancarkan Serangan ke Gaza, Termasuk di Rafah Serangan brutal dan tidak pandang bulu Israel belakangan mulai membuat resah para pendukungnya, termasuk AS yang jadi sahabat terdekat. Presiden AS, Joe Biden, mendesak Netanyahu agar tidak melancarkan serangan besar-besaran di Rafah sampai Israel menyusun rencana evakuasi massal warga sipil. Saat ini lebih dari separuh dari 2,3 juta penduduk Gaza berlindung di kawasan Rafah. Dalam wawancara dengan
MSNBC hari Sabtu (9/3), Biden mengatakan bahwa serangan Israel ke Rafah berpotensi membuat hubungannya dengan Nentanyahu sedikit bermasalah, namun dirinya bertekad untuk tidak meninggalkan Israel. "Itu akan menjadi garis merah tapi saya tidak akan pernah meninggalkan Israel. Pertahanan Israel masih penting. Jadi tidak ada garis merah di mana saya akan memotong semua senjata sehingga mereka tidak memiliki Iron Dome untuk melindungi mereka," kata Biden.
Baca Juga: Gencatan Senjata Gaza Masih Belum Tercapai Jelang Ramadan Biden bersikeras bahwa Netanyahu harus lebih memperhatikan hilangnya nyawa tak berdosa sebagai konsekuensi dari tindakan yang diambilnya.
Biden juga mengulangi seruannya untuk melakukan gencatan senjata selama enam minggu untuk pembebasan sandera dan pengiriman bantuan, meskipun negosiasi tampaknya terhenti. Mesir, bersama Qatar dan AS, telah berusaha untuk merealisasikan agar gencatan senjata di Jalur Gaza bisa terjadi selama bulan Ramadan. Jeda perang itu akan menjadi imbalan atas pembebasan sandera Israel yang ditangkap dalam serangan yang dilakukan Hamas pada 7 Oktober 2023. Perundingan terakhir di Kairo pekan lalu sayangnya berakhir tanpa hasil. Pada kesempatan itu, Israel juga tidak mengirimkan wakilnya. Pejabat senior Hamas, Bassem Naim, mengklaim bahwa Netanyahu telah dengan sengaja menghindari kesepakatan gencatan senjata. Hamas berharap AS memiliki kemampuan untuk mendorong sekutunya itu agar mau mencapai kesepakatan.