Defisit neraca perdagangan kita yang membengkak berefek ke neraca transaksi berjalan. Dengan lonjakan impor bulan lalu, defisit neraca dagang membengkak jadi US$ 3,09 miliar. Buntutnya, defisit neraca transaksi berjalan (CAD) berpotensi melebar. Di kuartal II-2018 lalu, CAD mencapai US$ 8 miliar atau 3% dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini lebih tinggi dari posisi defisit I sebesar US$ 5,7 miliar atau 2,2% PDB. Demi menekan defisit neraca perdagangan sekaligus transaksi berjalan, pemerintah berencana membatasi bahkan menutup pintu bagi 500 jenis barang impor. Saat ini, pemerintah masih mengkaji, barang-barang impor apa saja yang akan diperketat gerbang masuknya.
Tentu, kebijakan pemerintah itu bakal berdampak besar terhadap pengusaha lokal yang menggunakan bahan baku dan bahan penolong impor. Bahkan, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perdagangan Benny Soetrisno mengungkapkan, bukan cuma importir yang kena dampak, juga eksportir. Seberapa besar pengaruhnya ke importir dan eksportir? Pengusaha setuju dengan kebijakan tersebut? Benny membeberkannya kepada wartawan Tabloid KONTAN Nina Dwiantika, Kamis (16/8) lalu. Berikut nukilannya: KONTAN: Tanggapan pelaku usaha atas rencana pemerintah membatasi impor untuk 500 jenis barang? BENNY: Pemerintah jangan gegabah menyetop barang impor. Jangan buru-buru memutuskan menyetop barang impor. Kita perlu lihat ke dalam negeri dulu, bahan baku apa saja yang belum bisa dibuat dan apa saja yang sudah bisa dibuat. Untuk bahan baku yang tidak ada di Indonesia, sebaiknya pemerintah tidak membatasi impor. Sebaliknya, pemerintah boleh membatasi barang impor jika bahan baku di dalam negeri berlimpah. Misalnya, barang impor yang bisa dibatasi adalah barang konsumsi karena konsumsi bisa dibatasi atau digantikan dengan barang lain. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan perlu berdiskusi dengan pengusaha terlebih dahulu sebelum mengeluarkan daftar 500 barang impor yang akan disetop atau dibatasi. Sebab, barang impor turut mendorong pertumbuhan ekonomi, meskipun bisa melebarkan defisit transaksi berjalan. Tak hanya itu, pemerintah juga harus menjadi contoh bagi pengusaha dalam negeri. Saat ini, belanja pemerintah untuk pembelian, seperti mesin las, alat timbang, dan tempat tidur rumahsakit, masih berasal dari luar negeri. Padahal, ada pengusaha asal Bandung dan Surabaya yang memproduksi barang-barang tersebut. Kita juga perlu menekan barang impor untuk konsumsi. Sekarang, banyak pengusaha yang membeli mobil mewah, seperti Ferrari dan Rolls Royce, yang memiliki harga tinggi, sementara uangnya lari ke luar negeri. Lebih baik, jika mengonsumsi mobil dari Toyota yang ada hubungan dagang. KONTAN: Itu berarti, pelaku usaha setuju dengan pembatasan barang impor? BENNY: Pembatasan barang impor bisa dilakukan secara bertahap, sambil kita mendorong barang-barang ekspor yang menjadi andalan negara seperti komoditas. Nilai ekspor kita selama Juli lalu sebesar US$ 16,24 miliar, sedang impor mencapai US$ 18,27 miliar. Sebetulnya, selisih nilai ekspor dan impor ini tidak ada jarak terlalu besar, meski pemerintah ingin menekan impor. Nah, pemerintah perlu bekerja keras mendorong ekspor agar sejalan dengan impor. Dorong ekspor bisa diimbangi dari nonmigas dan migas. Ada sederet barang ekspor nonmigas yang bisa didongkrak, seperti komoditas karet, cokelat, kopi, timah, emas, dan nikel. Lalu, manufaktur untuk golongan mesin. Angka pertumbuhan ekspor nonmigas yang 31% pada Juli lalu menjadi US$ 14,81 miliar merupakan angin segar bagi kita. Sebab, Indonesia mampu mencatatkan pertumbuhan yang baik pada ekspor. Selain itu, industri kreatif yang sedang menjamur saat ini juga bisa diarahkan ke pasar ekspor. Apalagi, Badan Ekonomi Kreatif memproyeksikan nilai ekspor produk ekonomi kreatif mencapai US$ 21 miliar di tahun ini. Sektor mode memiliki kontribusi yang paling besar dari ekonomi kreatif. Daya saing juga harus ditingkatkan, jangan sekedar ekspor. Barang-barang yang diekspor harus lebih baik, yang mampu bersaing dengan negara-negara lain. Sehingga, barang kita laku di pasar dan bisa diterima oleh negara target ekspor. KONTAN: Lalu, dampak pembatasan barang impor bagi pelaku usaha? BENNY: Tentu, bagi perusahaan yang berorientasi impor maupun ekspor, akan terkena dampak dari kebijakan itu. Bagi pengusaha impor, sebagian barang impor yang akan ditutup bisa mengganggu ekspansi bisnis mereka, apalagi jika bahan baku berasal dari luar. Sementara larangan atas 500 barang impor akan menjadi bumerang bagi eksportir. Sebab, negara-negara yang mengekspor barang ke Indonesia akan membalas dengan menutup barang impor dari Indonesia. Terlebih, perang dagang di pasar global semakin memanas, menyusul kebijakan tarif impor oleh Amerika Serikat. Pemerintah sendiri, kan, juga sedang mendorong ekspor. Kalau terlalu banyak membatasi barang impor, maka dikhawatirkan hubungan dagang dengan negara-negara lain akan terganggu. Indonesia memiliki hubungan dagang yang terkait impor dengan China, Jepang, dan Korea Selatan. Nilai impor nonmigas dari Tiongkok sepanjang Januari hingga Juli lalu mencapai US$ 24,83 miliar dan Jepang sebesar US$ 10,45 miliar. KONTAN: Pemerintah bilang, lonjakan impor bulan lalu anomali. Apa sebenarnya yang membuat impor tinggi? BENNY: Kenaikan impor karena ada kebutuhan belanja bahan baku yang berasal dari luar negeri. Biasanya, ketika bulan ini impor naik, maka ekspor akan naik di bulan-bulan berikutnya. Jadi, ekspor bisa naik di Agustus atau September karena pengusaha yang membutuhkan bahan baku impor telah memproduksi barangnya. Mereka menjual lagi ke luar negeri dengan cara ekspor. KONTAN: Tadi Anda bilang, sebelum pemerintah merilis 500 jenis barang impor yang akan disetop atau dibatasi, sebaiknya bertemu dulu dengan pengusaha. Memang, apa yang akan pelaku usaha usulkan ke pemerintah? BENNY: Sebenarnya, kita tidak perlu menyetop 500 jenis barang impor. Usulan dari kami, sebaiknya tingkatkan tarif bea masuk impor sebesar 40% untuk barang-barang impor yang tidak terlalu dibutuhkan karena ada banyak di dalam negeri. Jika mengacu perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), maka tarif pajak impor barang rata-rata sebesar 8%. Jika memilih menaikkan tarif pajak impor, maka pemerintah harus segera meningkatkan produksi bahan baku di dalam negeri. Tujuannya, tentu untuk memenuhi kebutuhan perusahaan yang mengambil bahan baku dari luar negeri. Memang, kita tidak bisa lepas dari impor. Soalnya, kalau nilai impor turun maka akan menggambarkan terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi. Sebagai gambaran, ketika belanja bahan baku impor turun, artinya pelaku usaha telah memangkas ekspansi, yang berarti ada penurunan daya beli konsumen. Ujungnya, akan berdampak ke pertumbuhan ekonomi. Tapi, jika penurunan impor karena memang bahan baku sudah ada di dalam negeri, jelas itu akan lebih baik buat kita. KONTAN: Mendorong ekspor juga baik buat mengisi cadangan devisa kita? BENNY: Selama ini, bukannya para eksportir tidak mau menempatkan dana di bank-bank devisa di dalam negeri. Kami sudah menempatkan dana, tapi memang devisa hasil ekspor yang dikonversi ke mata uang rupiah masih belum besar. Bank Indonesia berencana menurunkan tarif swap atas devisa ekspor yang ingin dikonversi ke rupiah. Seberapa besar penurunan tarifnya? Kalau saya mengusulkan, lebih baik tidak ada tarif untuk transaksi swap. Saat ini, tarif swap sebesar 5% hingga 6% sangat memberatkan eksportir, karena mereka akan mengeluarkan ongkos yang besar. Sehingga, meningkatkan biaya operasional dan menekan pendapatan laba mereka. Kenapa pemerintah tidak membayar biaya swap yang dilakukan eksportir kalau memang ingin devisa hasil ekspor dikonversi ke rupiah. Sebab, jika biaya swap diturunkan pun masih terasa mahal bagi eksportir. Apalagi, eksportir masih membutuhkan valuta asing untuk kebutuhan pembayaran bahan baku maupun penolong dari impor. ◆ Biodata
Riwayat pendidikan: ■ Electrical Engineering Rheinisch-Westfaelische Technische Hochschule Aachen University, Jerman Riwayat pekerjaan: ■ Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan ■ Ketua Apindo Bidang Perdagangan ■ Ketua Umum GPEI ■ Komisaris PT World Harvest Textile ■ Komisaris PT Apac Inti Corpora ■ Komisaris PT Binangun Artha Perkasa ■ Komisaris Asia Pacific Investama Tbk PT ■ Presiden Komisaris PT BIP Nusatirta ■ Presiden Komisaris PT Inti Sukses Garmindo ■ Presiden Komisaris PT Pura Golden Lion ■ Presiden Direktur PT BIP Lokakencana ■ Presiden Direktur PT Hotel Savoy Niaga ■ Presiden Direktur PT Bhuwanatala Indah Permai Tbk ■ Direktur Utama PT Asri Kencana Gemilang ■ Direktur Operasional dan Engineering PT Tjiriadharma Construction & Engineering. **
Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN 20 Agustus - 26 Agustus 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Jangan Setop tapi Naikkan Tarif Impor" Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Mesti Sinaga