KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana menjadikan RI sebagai hub penangkapan dan penyimpanan karbon di tingkat kawasan alias
carbon capture storage (CCS) regional hub. Lewat langkah ini, pemerintah hendak mengkomersialisasi potensi penyimpanan karbon di Indonesia yang diproyeksi mencapai 400 giga ton, dengan target ‘pelanggan’ pengguna fasilitas injeksi hingga lintas batas negara alias
cross border. Perlahan tapi pasti, pemerintah telah menempuh langkah awal untuk mewujudkan ambisi tersebut. Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Republik Indonesia Jodi Mahardi mengungkapkan bahwa pemerintah tengah menggodok peraturan presiden untuk mengatur CCS di Indonesia.
Nantinya, produk hukum ini bakal memuat sejumlah hal, mulai dari implementasi CCS termasuk CCS Hub, CCS lintas batas, hingga pemanfaatan CCS di wilayah kerja non migas, termasuk pengaturan skema monetisasi untuk mendorong minat pengembangan CCS.
Baca Juga: Simak Potensi Teknologi Carbon Capture Storage Bagi Indonesia “Target dari pemerintah, sudah ada juga surat persetujuan dari Presiden untuk penyelesaian Peraturan Presiden (Perpres) mengenai
carbon capture storage ini di tahun 2023,” ungkap Jodi dalam acara i International & Indonesia Carbon Capture Storage (IICCS) Forum 2023 di Hotel Mulia Senayan Jakarta, Senin (11/9). Jodi mengaku belum bisa memastikan seperti apa kiranya bentuk pengaturan skema monetisasi/komersialisasi dalam implementasi CCS ini kelak. Sebab, pemerintah masih mengkaji opsi-opsi yang ada. “Kita bahas dari sisi membuka opsi-opsi seperti
injection fee, mungkin bisa atau
royalty fee,” tuturnya. Ketua Panitia Pelaksana IICCS Forum 2023,, Merry Marteighianti optimistis, sejumlah proyek CCS bakal sudah bisa diterapkan dalam beberapa tahun mendatang. “Dari studi-studi yang sekian banyak di Indonesia, terutama di Pertamina, kita menargetkan itu di tahun 2030 akan ada beberapa CCS proyek yang bisa diimplementasikan,” kata Merry. Wacana penerapan CCS berikut komersialisasinya sudah menjadi bahasan di kalangan pelaku usaha di sektor hulu minyak dan gas (migas). Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA), Marjolijn Wajong mengatakan bahwa pihaknya tengah melakukan pembicaraan baik di tingkat internal asosiasi maupun dengan pemerintah seputar hal ini.
Baca Juga: ICCSC Dorong Indonesia Jadi Pelopor Carbon Capture Storage Hub di Asia Pasifik Menurutnya, penerapan CCS memang perlu dilakukan di sektor migas untuk menekan emisi yang dihasilkan. Terlebih, migas, masih akan berperan penting dalam proses transisi energi. “Tapi untuk melakukan itu memang harus cukup menarik secara bisnis dong, kalau enggak, enggak ada yang mau ngerjain,” ujar Marjolijn saat dihubungi Kontan.co.id (11/9). Kendati demikian, Marjolijn mengaku belum bisa membeberkan skema komersialisasi macam apa yang kiranya dianggap menarik dan bisa mendorong minat pelaku usaha hulu migas untuk mengembangkan CCS. “Kami juga sedang membicarakannya baik di dalam IPA maupun dengan pemerintah, masih terlalu dini, kami sedang berpikir juga terus terang,” cetus Marjolijn. Sementara itu, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas), Moshe Rizal, menyoroti risiko lingkungan yang hadir dalam pengembangan CCS. “Risiko kebocoran atau penyebaran (leaks) CO2 bisa dan akan terjadi dimanapun di dalam supply chainnya, dari processing-nya, transportasinya sampai ke injeksinya, semua ini bisa menyebabkan emisi dan polusi yang meningkat di wilayah Indonesia, dan gas rumah kaca (GRK) itu tidak hanya CO2 ya, banyak yang lebih mempengaruhi dari CO2 dalam hal pemanasan global,” terang Moshe kepada Kontan.co.id.
Baca Juga: Indonesia Berkomitmen untuk Memajukan Carbon Capture&Storage (CCS) di IICCS Forum2023 Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, berpandangan bahwa pemerintah sebaiknya melakukan lebih banyak riset tidak terburu-buru menggencarkan pengembangan CCS. Menurutnya, teknologi penyimpanan karbon masih terus diteliti dan teknologi nya relatif mahal. Di sisi lain, CCS juga dianggap rentan karena penyimpanan karbon dapat terpengaruh bencana alam seperti gempa bumi yang diakibatkan kebocoran. Terlebih, frekuensi gempa di Indonesia cukup tinggi. “Ketiga, carbon storage bisa menghambat pensiun PLTU batubara karena seolah emisi karbon yang dikeluarkan oleh PLTU bisa ditampung di CCS. Dikhawatirkan cara ini justru menurunkan target perpindahan dari fosil ke energi yang lebih bersih,” imbuhnya saat dihubungi Kontan.co.id. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto