JAKARTA. Dua tahun setelah meninggalnya Jusuf Merukh, Rudy Merukh mewarisi kerajaan bisnis Merukh Enterprises. Anak lelaki dari keluarga Merukh itu tidak hanya membawa nama Merukh Enterprises, namun juga seluruh semangat bisnis dan sifat-sifat dari sang ayah. Rudy Merukh menggantikan Jusuf Merukh sebagai President and Chief Executive Officer (CEO) Merukh Enterprises yang banyak berkecimpung di bisnis pertambangan, minyak dan gas bumi, serta properti. Jusuf Merukh tutup usia di usia ke-77 pada Rabu, 22 Juni 2011. Jusuf pernah dinobatkan sebagai orang terkaya nomor 76 di Indonesia versi Majalah Globe Asia tahun 2009. Rudy mengenang, dirinya mulai diajarkan berbisnis oleh ayahnya sejak umur 12 tahun. "Saya diajarkan untuk masuk dan mulai bisnis di daerah badai. Di daerah itu hanya orang yang berani masuk yang akan menang," katanya, saat berbincang santai dengan KONTAN, Jumat (3/5).
Pesan itulah yang sampai saat ini masih diterapkan Rudy dalam menjalankan roda bisnis perusahaan peninggalan sang orang tua. Menurutnya, konflik akan menciptakan kesempatan-kesempatan bisnis baru yang biasanya ditinggalkan oleh pebisnis lain. Rudy ingat betul ketika pertama kali diajak sang ayah masuk ke Aceh untuk mengelola tambang emas di Meulaboh pada 1974. "Saat itu masih berkecamuk konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM), saya ingat ketika kepala saya ditodong pistol," katanya. Aceh boleh jadi menjadi tambang emas bisnis pertama kali yang dikelola oleh Merukh. Konflik yang terjadi di Serambi Mekah membuat semua pengusaha tidak mau berbisnis di Aceh. Apalagi di sektor pertambangan emas yang membutuhkan banyak modal. Menurut Rudy, ayahnya berani masuk ke Aceh karena selain memiliki misi bisnis juga berkeinginan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat sekitar. "Kami ingin menciptakan lapangan kerja di setiap wilayah itu," katanya. Misi pelayanan ini juga yang sampai saat ini masih dipegang oleh Rudy. Dia ingin perusahaan yang dikelolanya memberikan nilai tambah bagi masyarakat di sekitarnya. Atas dasar itu, Merukh Enterprises menurut Rudy tidak hanya menghitung bisnis berdasarkan nilai-nilai kapitalis melainkan juga dari sisi sosialis. Dia mencontohkan ketika mengawali bisnis di tambang emas, tidak mudah dalam hitungan ekonomi. Saat itu bisnis pertambangan emas tidak menguntungkan karena membutuhkan modal besar. Di sisi lain, harga emas sedang jatuh. Saat itu pula banyak pebisnis lain yang meninggalkan sektor itu karena dianggap merugikan keuangannya. Harga emas saat itu, yakni di tahun 1970-an, tidak lebih tinggi dari US$ 100 per ounce. Namun ongkos produksi tambang mencapai US$ 125 per ounce. Walau hitungan di atas kertas rugi, Rudy menceritakan, ayahnya tidak menyerah karena berkeyakinan harga emas tidak akan selamanya jatuh. "Suatu saat pasti akan naik lagi," kata Rudy menirukan ayahnya. Hanya saja, memang tidak mudah meyakinkan para pemilik modal untuk tetap percaya pada bisnis pertambangan emas pada saat itu. Namun bagi Merukh, hal tersebut bukan sesuatu yang menakutkan. Menurutnya bukan hanya sekali dua kali saja perusahaan yang dibangun kelompok usaha ini terancam jatuh. Rudy mengibaratkan seperti membeli mobil kredit. Jika kemudian gagal mencicil, yang bisa dilakukan adalah mengembalikan mobil ke diler penjual mobil. "Jadi saya tidak pernah takut," katanya. Yang paling penting adalah bagaimana membuat mobil yang dibeli dengan kredit tersebut dapat berguna bagi kepentingan banyak orang. Rudy mengaku pernah merasakan bagaimana susahnya menjadi kuli di pelabuhan. Dia bercerita, pada tahun 1984 saat masih sekolah di Australia, dia harus bertahan hidup dengan menjadi kuli pelabuhan di negara tersebut. Sebab kala itu bisnis sang ayah terancam bangkrut. Karena kondisi perusahaan yang tidak menguntungkan, ayahnya tidak sanggup mengirim uang kepada walau sekadar untuk memenuhi biaya hidup. "Saat itu upahnya cukup besar sekitar A$ 270 per minggu," katanya sambil memperlihatkan bagian jarinya yang sampai saat ini masih berbekas akibat terjepit beban saat menjadi kuli pelabuhan. Dengan berbagai pengalaman dan pemikiran yang banyak diambil dari sang ayah, Rudy berusaha meninggalkan paham-paham kapitalisme yang selalu berpatokan pada angka-angka dan keuntungan bisnis. " Keuangan itu bukan penentu bisnis tetapi pelengkap bisnis," katanya. Walau mewarisi banyak sifat dan karakter bisnis dari sang ayah, Rudy menyatakan strategi bisnis yang yang dibangun saat ini agak berbeda dengan yang dibangun oleh Jusuf Merukh. Sang ayah membangun bisnis lebih mengarah pada korporasi yang mengerucut ke satu induk perusahaan. Saat ini Rudy mencoba membangun Merukh Enterprises menjadi sebuah bisnis yang terdiri dari berbagai inti yang bisa berjalan dan mengelola bisnisnya sendiri. "Jadi saya tinggal memonitor saja. Di Amerika Serikat (AS) sudah bisa berjalan sendiri, namun di Indonesia masih butuh penanganan lebih," kata Rudy. Negeri Paman Sam memang menjadi negara yang dalam dua tahun ini sedang serius digarap Merukh Enterprises. Rudy mengaku saat ini lebih banyak tinggal di AS karena selain ingin mengurus bisnis, juga ingin berdekatan dengan kedua anaknya yang sedang menempuh beasiswa di Texas University dan Berkley University. Lama tinggal di AS tidak disia-siakan oleh Rudy. Ibarat sambil menyelam minum air, Amerika Serikat yang saat ini sedang mengalami krisis ekonomi memberikan kesempatan bisnis bagi Merukh Enterpises. Menurut Rudy, akibat krisis ekonomi banyak ladang minyak dan gas yang kemudian dijual dengan harga murah. Dia mengaku mulai melirik bisnis di AS pada 2009, saat itu kondisinya bisnis minyak dan gas di AS sama seperti ketika ayahnya memulai bisnis tambang. "Banyak perusahaan yang tidak mau melakukan eksplorasi karena Pemerintah Amerika memotong anggaran biaya eksplorasi," katanya. Rudy ingat ajaran ayahnya untuk terjun dan masuk ke zona konflik untuk memulai bisnis. Dia ingat juga ketika ayahnya memborong properti di Singapura saat krisis finansial melanda negeri Singa itu pada 2008. "Saat itu properti di Singapura di diskon sampai 60%," katanya. Dengan pengalaman itu dia tidak ragu mengakuisisi ladang migas dari keluarga Whitehead di Texas senilai US$ 5 miliar pada tahun 2011. Dengan cadangan terbukti mencapai 30 juta barel, Merukh Enterprises diberikan hak membeli pertama atau first rights of refusal untuk berpartisipasi dalam penemuan ladang migas baru keluarga Whitehead. Keyakinan itu terbukti, ketika banyak perusahaan China, seperti Petrochina yang kemudian tertarik untuk membeli hak yang dimiliki Merukh Enterprises. Menurut Rudy, saat berbisnis di AS dirinya juga banyak menemukan rekan bisnis untuk pengembangan usaha, termasuk juga sumber pendanaan yang siap memberikan dukungan modal jika dibutuhkan. Untuk itulah, Merukh Enterprises kemudian juga masuk ke bisnis ethanol. Tanpa mengatakan detailnya, Rudy bilang perusahaannya tertarik untuk mengembangan etanol karena potensi bahan bakar nabati cukup besar, tidak hanya di Amerika namun juga di dunia. Di Amerika Serikat, Merukh juga menyediakan pendanaan untuk riset dan pengembangan (R&D) vaksin untuk memutus rantai penurunan penyakit diabetes dan darah tinggi dari orang tua ke anaknya. Rudy berharap dengan adanya vaksin ini maka tidak akan ada lagi kasus darah tinggi dan diabetes atau gula yang diidap anak-anak dunia akibat keturunan. Rudy berjanji nantinya vaksin tersebut akan diberikan gratis untuk anak-anak di Indonesia. "Mudah-mudahan dua tahun lagi vaksinnya sudah siap," katanya. Rencana itu menjadi bagian dari misi sosial yang dilakukan Merukh Enterprises. Menurut Rudy, dirinya mencoba menerapkan ajaran Jusuf Merukh. "Pak Jusuf adalah pemberi dan pengasih," katanya. Untuk mewujudkan misi sosial yang lain, Merukh juga memiliki beberapa yayasan yang bergerak di berbagai macam bidang. Di bidang pendidikan dengan memberikan bantuan beasiswa kedokteran untuk 26 orang. Perusahaan ini juga memberikan bantuan seperti suntikan tetanus gratis dan sunatan massal kepada penduduk lokal.
Pendidikan menjadi hal yang menjadi perhatian Merukh Enterprises. Sebab, menurut Rudy, jika harta dan kekayaan bisa diambil atau direnggut dari pemiliknya, maka pendidikan adalah tidak bisa direnggut. "Sampai kita mati, pendidikan akan tetap ada dan menyatu dengan kita. Bahkan di batu nisan bisa dituliskan gelar kita," katanya bercanda. Menurut Rudy, di Amerika saat ini ada pergeseran nilai dari kapitalis ke sosialis. Ini dibuktikan banyaknya penghargaan filantropi kepada perusahaan yang membantu masyarakat. Jika dahulu Amerika hanya mengenal daftar orang terkaya, saat ini daftar orang yang menyumbang dana sosial paling besar juga banyak dibuat. Indonesia, menurut Rudy, juga bisa meniru Amerika soal itu. Masyarakat Indonesia juga harus mencintai perbedaan, ketulusan dan kesabaran karena merupakan bangsa yang majemuk dari berbagai macam suku bangsa, agama dan ras. "Kenapa masing-masing agama ada tempat ibadah? Karena Tuhan menyukai manusia untuk bersama-sama," katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Havid Vebri