Kendati meneruskan usaha ayahnya, bukan berarti sukses yang diraih Andris Wijaya didapat dengan mudah. Ia harus bekerja keras sehingga bisnisnya bisa besar seperti sekarang. Andris mengaku, saat mulai meneruskan usaha penjualan beras Garut merek 1001 yang dirintis ayahnya sejak 1975, pamor beras Garut 1001 sudah meredup. Bahkan, bisa dibilang, bisnis beras Garut 1001 sudah vakum. Ada banyak kendala yang dihadapinya saat itu. Salah satunya adalah kendala pemasaran. Dulu, merek 1001 selalu tertera di kemasan, sehingga dikenal luas oleh pembeli, baik di garut maupun di Jakarta. Namun, saat mengambil alih kendali usaha pada 2003, ia menemukan kemasan berasnya dilepas dan diganti dengan merek baru di Jakarta. Alhasil, popularitas beras Garut 1001 meredup. Belum lagi, Andris harus bersaing dengan pemain yang sudah senior dan masih berjaya. Selain penjualan yang makin sulit, pasokan beras Garut juga makin sulit didapat. Produksi beras Garut terus berkurang akibat lahan pertanian yang menyusut lantaran beralih fungsi menjadi kawasan hunian dan lainnya. Belum lagi pasokan air yang berkurang karena habis dieksploitasi perusahaan air minum. "Kalau musim kemarau, ada beberapa lahan yang kekeringan dan otomatis produksi gabah menurun," jelas Adris.Ketika produksi menurun, harga beras cenderung Garut naik. Persoalannya, pedagang beras skala besar di Jakarta punya banyak sumber pasokan beras. Ketika harga beras Garut tinggi, mereka akan mengambil beras dari daerah lain yang sedang panen, sehingga harga lebih murah. Lantaran banyak didera berbagai masalah, Andris mengaku sempat putus asa. Pada tahun 2005 ia pernah berencana menjual perusahaan beras milik ayahnya tersebut. Ia pun menawarkan usaha itu ke berbagai pihak. Sambil menunggu harga penawaran yang pas, Andris masih memutar otak agar usaha ini bisa terus berlanjut karena ia tetap harus membayar cicilan utang yang semakin besar.Saat itu, keluarganya menanggung utang sebesar Rp 100 juta. Di masa-masa sulit itu, ia kembali menganalisa filosofi nama 1001 yang dibuat ayahnya. Menurut sang ayah, nama 1001 diambil dari istilah bahasa Sunda "sarebu hiji".Artinya, dari dari seribu buah hanya ada satu yang seperti ini. "Saya pun berpikir, dari seribu pabrik beras, harusnya hanya satu yang seperti ini," ujar Andris.Dari situ, ia kemudian berpikir untuk menawarkan sesuatu yang baru. Ia juga memikirkan cara menjual beras Garut secara stabil, baik sedang panen atau tidak. "Beras Garut itu kelebihannya warnanya putih asli tanpa pemutih dan rasanya lebih pulen dengan ada rasa sari manisnya," tutur Andris.Dengan semangat menawarkan sesuatu yang baru itu, munculnya idenya untuk mengemas penjuaan beras 1001 sebagai oleh-oleh khas Garut. "Tapi kalau dijual begitu saja pasti tidak menarik," ujarnya. Dari situ kemudian munculnya ide membuat makan olahan dari beras Garut. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berani inovasi, sukses angkat pamor beras 1001 (2)
Kendati meneruskan usaha ayahnya, bukan berarti sukses yang diraih Andris Wijaya didapat dengan mudah. Ia harus bekerja keras sehingga bisnisnya bisa besar seperti sekarang. Andris mengaku, saat mulai meneruskan usaha penjualan beras Garut merek 1001 yang dirintis ayahnya sejak 1975, pamor beras Garut 1001 sudah meredup. Bahkan, bisa dibilang, bisnis beras Garut 1001 sudah vakum. Ada banyak kendala yang dihadapinya saat itu. Salah satunya adalah kendala pemasaran. Dulu, merek 1001 selalu tertera di kemasan, sehingga dikenal luas oleh pembeli, baik di garut maupun di Jakarta. Namun, saat mengambil alih kendali usaha pada 2003, ia menemukan kemasan berasnya dilepas dan diganti dengan merek baru di Jakarta. Alhasil, popularitas beras Garut 1001 meredup. Belum lagi, Andris harus bersaing dengan pemain yang sudah senior dan masih berjaya. Selain penjualan yang makin sulit, pasokan beras Garut juga makin sulit didapat. Produksi beras Garut terus berkurang akibat lahan pertanian yang menyusut lantaran beralih fungsi menjadi kawasan hunian dan lainnya. Belum lagi pasokan air yang berkurang karena habis dieksploitasi perusahaan air minum. "Kalau musim kemarau, ada beberapa lahan yang kekeringan dan otomatis produksi gabah menurun," jelas Adris.Ketika produksi menurun, harga beras cenderung Garut naik. Persoalannya, pedagang beras skala besar di Jakarta punya banyak sumber pasokan beras. Ketika harga beras Garut tinggi, mereka akan mengambil beras dari daerah lain yang sedang panen, sehingga harga lebih murah. Lantaran banyak didera berbagai masalah, Andris mengaku sempat putus asa. Pada tahun 2005 ia pernah berencana menjual perusahaan beras milik ayahnya tersebut. Ia pun menawarkan usaha itu ke berbagai pihak. Sambil menunggu harga penawaran yang pas, Andris masih memutar otak agar usaha ini bisa terus berlanjut karena ia tetap harus membayar cicilan utang yang semakin besar.Saat itu, keluarganya menanggung utang sebesar Rp 100 juta. Di masa-masa sulit itu, ia kembali menganalisa filosofi nama 1001 yang dibuat ayahnya. Menurut sang ayah, nama 1001 diambil dari istilah bahasa Sunda "sarebu hiji".Artinya, dari dari seribu buah hanya ada satu yang seperti ini. "Saya pun berpikir, dari seribu pabrik beras, harusnya hanya satu yang seperti ini," ujar Andris.Dari situ, ia kemudian berpikir untuk menawarkan sesuatu yang baru. Ia juga memikirkan cara menjual beras Garut secara stabil, baik sedang panen atau tidak. "Beras Garut itu kelebihannya warnanya putih asli tanpa pemutih dan rasanya lebih pulen dengan ada rasa sari manisnya," tutur Andris.Dengan semangat menawarkan sesuatu yang baru itu, munculnya idenya untuk mengemas penjuaan beras 1001 sebagai oleh-oleh khas Garut. "Tapi kalau dijual begitu saja pasti tidak menarik," ujarnya. Dari situ kemudian munculnya ide membuat makan olahan dari beras Garut. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News