TANGERANG. Korupsi menyangkut persoalan mental. Oleh karena itu, dibutuhkan partisipasi rakyat jika menghendaki korupsi hilang dari Indonesia. Sebagai tindak lanjut, dirasa perlu untuk mendirikan pendidikan antikorupsi agar persoalan korupsi ini bisa dilawan melalui budaya juga. Demikian hasil rangkuman diskusi “Membangun Gerakan Anti Korupsi Menjelang Pemilu 2014” yang diselenggarakan oleh Padepokan Kebangsaan, Karang Tumaritis, Bojong Nangka, Kelapa Dua, Tangerang, Minggu (8/12). Hadir sebagai pembicara diskusi Mantan Mensesneg Bondan Gunawan, Koordinator ICW Danang Widoyoko, Agus Condro (Pegiat Antikorupsi) dan Pengasuh Padepokan Kebangsaan Karang Tumaritis Ananta Wahana.
Dalam penjelasannya, Ananta Wahana mengatakan, diskusi tersebut kegiatan terakhir dari serial diskusi yang diselenggarakan padepokan pada tahun 2013 dan sekaligus menutupnya dengan peringatan hari anti korupsi sedunia, Senin (9/12). Pada tahun 2014, padepokan akan secara aktif ikut serta memerangi korupsi. Oleh karenanya padepokan membentuk Gerakan Buru Koruptor (GEBUK) yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat termasuk aktivis mahasiswa, buruh, tani, nelayan, seniman aktivis perempuan, LSM, pemuda dan lain-lain. Bekerjasama ICW, padepokan akan membangun sekolah antikorupsi. Sementara itu, Bondan mengatakan, bahwa korupsi terjadi di seluruh jajaran pemerintahan. Karena begitu besar wilayah peperangannya, Bondan tidak yakin bahwa KPK mampu melakukan tugasnya untuk memberantas korupsi. Oleh karena itu, yang bisa dilakukan adalah diperlukan partisipasi rakyat dan tidak hanya sekadar masyarakat. “Mengurus akta, SIM, KTP, rakyat ingin juga diistimewakan. Tapi, untuk diistimewakan rakyat juga mendukung tindakan korupsi dengan cara menyogok. Sehingga, perlu partisipasi aktif dari rakyat, karena penguasa itu tidak pernah berpikir berhenti dari kekuasaan. Seluruh pejabat itu korupsi dan cara terorganisir. Ada anekdot, seks itu nikmat, tetapi kekuasaan jauh lebih nikmat,” ujar Bondan yang juga Ketua Umum Persahabatan Indonesia–Tiongkok. Akibat korupsi yang tak terhentikan dapat membawa sebuah organisasi atau institusi hancur. Diambil contoh, kehancuran organisasi dagang di zaman penjajahan Belanda (VOC) bukan karena rakyat nusantara mampu mengalahkannya tetapi karena penyakit korupsi yang menjangkiti organisasi ini. “Padahal, kalau dilihat VOC sudah menguasai seluruh nusantara. Dan budaya korupsi itulah kemudian menular ke para penguasa pribumi termasuk para raja dan bupati-bupati,” katanya. Atas inisiatif terbentuknya GEBUK, Agus Condro berharap lembaga tersebut dapat menggelorakan nilai-nilai pemberantasan korupsi sekecil apapun. Siapa pun yang tergabung dalam GEBUK hendaknya jangan pernah putus asa dalam melakukan aktivitasnya. Para penggiat juga harus mempersiapkan mentalnya cukup kuat. Selain antikorupsi, GEBUK juga harus membekali diri dengan kepekaan terhadap kebiasaan yang salah dan dilakukan berulang-ulang. Karena korupsi selalu ada karena masyarakat kurang peka atas kebiasaan yang salah dan berulang tanpa adanya upaya pencegahan. Terkait dengan pemilu 2014, masyarat diimbau merupakan momentum untuk memerangi korupsi. Danang Widoyoko mendorong masyarakat agar mengatakan tidak segala bentuk suap yang dilakukan oleh para caleg. “Jika caleg memberi uang, sebagai caleg tersebut tidak dipilih karena nantinya caleg akan membebankan biaya hidup rakyat lebih mahal. Caleg juga tidak akan membantu masyarakat yang sedang dalam kesulitan,” ujarnya.
Terkait dengan korupsi di Banten, Danang juga meminta masyarakat melakukan kontrol sosial. Dengan control sosial yang intens, masyarakat akan mampu mengungkap kegiatan korupsi dengan mudah. Setelah pembentukan GEBUK, para relawan menyatakan deklarasi yang berisi; Tidak akan melakukan korupsi, Menciptakan Generasi muda antikourpsi, Mengutuk segala bentuk perilaku korupsi, Korupsi harus dihancurkan dan dimusnahkan dari bumi pertiwi dan Bertekad menjadikan Indonesia sebagai negeri tanpa korupsi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dikky Setiawan