JAKARTA. Presiden RI ke-7 Joko Widodo, baru saja dilantik. Ditemani wakilnya, Jusuf Kalla, berdua akan memimpin Indonesia untuk tumbuh. Sejumlah program "ambisius" sudah disusun. Soal anggaran, menjadi pertanyaan di belakangnya. "Kita tahu program-program yang sangat ambisius untuk kesejahteraan masyarakat butuh penghematan di APBN," kata Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih, kepada Kompas.com, Senin sore (20/10). Sebabnya, kata Lana, dalam 100 hari ke depan, atau hingga pergantian tahun 2014-2015 tantangan yang dihadapi Indonesia masih belum berkurang. Risiko dari kebijakan normalisasi AS, pelemahan ekonomi global, serta merosotnya harga komoditas ekspor andalan Indonesia di pasar dunia, seperti crude palm oil dan batubara serta minyak, mengancam penerimaan negara.
Jika tak bisa mengandalkan penerimaan negara untuk tahun pertamanya, Lana menyarankan penghematan anggaran menjadi salah satu opsi yang bisa diambil Jokowi-JK untuk menggulirkan program-programnya. "Yang bisa dihemat itu ada 26% (APBN), karena yang 74% itu sudah tidak bisa lagi. Untuk TNI/Polri itu ada 15%, pembayaran bunga utang (7,5%), pendidikan (20%), transfer daerah (32%). Keempat komponen itu sudah 74%, belum termasuk dana desa yang sekitar Rp 9 triliun," jelas Lana. Artinya, ruang fiskal yang masih bisa dimanfaatkan sekitar 26%. Menurut dia yang pasti bisa dihemat lagi adalah subsidi energi 13,5%. "Itu di tahun pertama. Di tahun 2016 kalau butuh pembiayaan lagi, maka utang masih menjadi andalan. Lalu, dalam 2-3 tahun ke depan yang harus bisa dibenahi Jokowi-JK adalah sistem perpajakan, sistem koleksinya," imbuh dia.