Atraksi negara demi mengumpulkan uang



JAKARTA. Ketika Sigit Priadi Pramudito memutuskan meninggalkan kursi Direktur Jenderal Pajak, dia memberi kepastian, Indonesia tidak akan mencapai target pajak tahun ini.

Sejatinya, ini bukan kabar mengejutkan. Terakhir kali Indonesia melampaui target pajak pada tahun 2008 silam.

Tapi, kemunduran Sigit menandakan, Indonesia benar-benar tertatih tahun ini, bahkan untuk tidak meleset terlalu jauh dari target.

Target pajak yang ditetapkan dalam APBN-P 2015 sebesar Rp 1.294 triliun. Sampai 22 November, penerimaan baru 828,93 triliun atau 64% dari target. Selisih dana yang harus dikejar dalam satu bulan mencapai Rp 465 triliun, yang juga diakui Wakil Presiden Jusuf Kalla, tidak mungkin.

Pengganti Sigit, Pelaksana Tugas (Plt) Ken Dwijugiasteadi mengatakan, akan memaksimalkan penerimaan, setidaknya mencapai 85%-87% dari target, seperti yang sudah dimandatkan Menteri Keuangan. Itu artinya, pemerintah harus mengejar minimal pajak Rp 1.100 triliun.  

Mekar Satria Utama, Direktur Penyuluhan Pelayanan Dan Hubungan Masyarakat DJP mengatakan, penerimaan Desember merupakan yang tertinggi, bisa sampai Rp 225 triliun. Andai itu bisa direalisasikan, total penerimaan menjadi sekitar Rp 1.053 triliun, sedikit di bawah target 85%.

Di sisa tahun ini yang tinggal beberapa pekan, DJP akan makin gencar mengejar wajib pajak terutama kelas kakap.

DJP juga kembali menggembar-gemborkan reinventing policy, yaitu penghapusan sanksi administrasi bagi wajib pajak yang melunasi utang pajaknya, terlambat menyetor pajak, serta membetulkan surat pemberitahuan (SPT).

Penghapusan sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan atas utang pajak ini berlaku bagi wajib pajak yang melunasi sebelum 1 Januari 2016, untuk utang pajak mulai periode 2009.

Gambaran realisasi penerimaan pajak dibanding target:

Tahun Realisasi Target Shortfall/Surplus (Rp triliun) Realisasi (%)
(Rp triliun) (Rp triliun)
2014 981,9 1.072 (90) 91,5
2013 1.099 1.139,32 (39,42) 96
2012 835,83 885,03 (49,2) 94,44
2011 872,6 878,7 (6,1) 99,3
2010 649,04 661,4 (12,36) 98,1
2009 565,77 577 (11,23) 97,99
2008 571,1 534,53 36,57 106,84%
2007 426,3 492,01 (65,71) 98,5%
Cari utang

Kekurangan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan negara akan berpengaruh pada rencana-rencana pengeluaran pemerintah.

Rendahnya penerimaan pajak akan memperlebar defisit tahun ini. Dengan begitu, pemerintah harus mencari sumber pembiayaan tambahan dan memangkas anggaran pengeluaran. 

Hitungan pemerintah, jika realisasi belanja 92% dan shortfall sebesar Rp 252,7 triliun (85% dari target pajak), defisit akan mencapai 2,78% atau Rp 316 triliun (lihat tabel). Padahal, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 mencanangkan defisit sebesar 1,9% dari produk domestik bruto (PDB).

Untuk mengantisipasi lebarnya defisit ini, pemerintah akan menambah sumber pembiayaan baru senilai Rp 94 triliun dari target sumber pembiayaan Rp 222,5 triliun. Tambahan pembiayaan ini berasal dari sebagian pinjaman multilateral (dana siaga) sekitar Rp 46 triliun, serta penerbitan surat berharga negara (SBN) Rp 47 triliun.

Bahkan, Direktur Strategi dan Portofolio Utang Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Schneider Siahaan mengatakan,  sudah mengontak beberapa lembaga pembiayaan untuk mengamankan penyerapan utang tersebut.  

Perkiraan pembiayaan negara 2015 (dalam triliun rupiah)

  APBN-P 2015 (revisi) Asumsi baru
Penerimaan negara 1.761,6  1.508,9
Belanja negara 1.984,1 1.825,37
Pembiayaan 222,5 316,5
Sumber: Kementerian Keuangan

Ekonom Bank Central Asia David Sumual mengatakan, saat ini tidak ada cara lain bagi pemerintah untuk menutupi defisit anggaran selain dengan menambah utang. Jika pemerintah memotong belanja, apalagi belanja modal dan alokasi ke daerah, hal ini akan sangat mengganggu kinerja sektor infrastruktur. Akibatnya, perekonomian Indonesia akan terganggu.

Menurut David, tambahan pembiayaan dari lembaga multilateral lebih aman ketimbang menerbitkan SBN. Dampak penerbitan SBN di luar jadwal yang ditetapkan sebelumnya ialah terjadi peningkatan yield dari sekitar 7% pada awal tahun menjadi 8%-10% pada saat ini.

Naiknya yield tersebut mencerminkan SBN pemerintah memiliki risiko tambahan. "Tapi sejauh ini pasar SBN tampaknya masih cukup baik merespon SBN negara  karena penerbitan prefunding awal Desember lalu masih oversubcribe," kata David. Ia menilai, defisit anggaran sebesar 2,78% dari PDB relatif aman.

Tahun 2016

Pemerintah tahun depan berencana memperluas sumber-sumber pajak di tahun depan lewat revisi Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh. Tujuan revisi ini, menurut pemerintah, untuk mengatur ulang tata cara penarikan pajak dan memberi kepastian pengenaan pajak atas objek pajak.

Misalnya, pemerintah akan merinci  pajak penghasilan beberapa instrumen investasi seperti unitlink, reksadana, dan efek beragun aset (EBA). Pemerintah melirik sistem pembayaran uang elektronik (e-money) sebagai sumber penerimaan. Pihaknya juga membidik sumber pajak dari transaksi e-commerce.

Bersamaan dengan penggenjotan pajak, pemerintah akan mencari sumber pembiayaan pembangunan lewat utang. Tahun depan, pemerintah berencana menerbitkan surat berharga negara (SBN) Rp 532,4 triliun. Sebanyak 61% dari nilai itu akan dieksekusi dalam enam bulan pertama 2016.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia