SEBUAH inspirasi bisa muncul dari lingkungan terdekat. Tati Hartati pun bisa menjadi seorang pengusaha pakaian muslim nan sukses berkat terinspirasi kemandirian ibu kandungnya. Sewaktu kecil dulu, pemilik Rumah Dannis ini hidup dalam keprihatinan. Untuk membeli pakaian saja tidak mampu. Bila ingin baju baru, sang ibu rajin membuatkan baju untuk Tati dan juga saudara-saudaranya. Alhasil, Tati terbiasa mengenakan pakaian hasil jahitan sang ibu. Begitu pula ketika Hari Raya Lebaran tiba. Ketekunan dan ketelatenan sang ibu inilah yang menjadi sumber ilham bagi Tati untuk memberanikan diri menjahit pakaiannya sendiri saat duduk di kelas empat sekolah dasar (SD). Anak ketiga dari enam bersaudara ini memang sedari kecil mencintai kain. Bahkan, sejak kelas empat SD itu Tati sudah menjual pakaian boneka dan tempat pensil dari kain kepada teman-temannya. Sejak itu pula Wati belajar mandiri. Setidaknya, dia tak lagi meminta uang jajan kepada orangtuanya lantaran dia bisa mencari uang sendiri dari jualan pakaian boneka dan tempat pensil. Apalagi hasil keterampilan tangan Tati semakin terkenal di kalangan teman-temannya. “Di sekolah jadi banyak yang tahu, dan pesanan terus bertambah,†kenang Tati. Kecintaan Tati terhadap kain sempat memudar lantaran dia harus sekolah di Sekolah Kejuruan Analis Kimia. Kesibukan sekolah menyebabkan Tati harus rela menanggalkan ide-idenya tentang model busana. Apalagi ketika itu orangtuanya juga menginginkan Tati segera lulus dan secepatnya mencari pekerjaan. “Ayah saya melihat saudara yang lulus dari sekolah itu bisa langsung bekerja,†ujar perempuan yang tinggal di Surabaya ini. Setelah lulus sekolah kejuruan itu, bukannya bekerja, Tati malah masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tidak tanggung-tanggung, dia bisa kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) hingga berhasil meraih gelar insinyur kimia. Setelah lulus kuliah, Tati pun harus bekerja di kantoran. Maklum, ketika itu sang ayah memasuki masa pensiun dari sebuah badan usaha milik negara (BUMN). Tanggungjawab keluarga seolah berpindah ke pundak Tati. “Ibu saya tidak bekerja dan ayah pensiun. Jadi, untuk biaya kuliah adik, saya harus mencari uang,†kata Tati. Setelah menikah pada 1998, ternyata sang suami tidak mengizinkannya bekerja di kantoran. Larangan inilah yang menjadi dorongan kuat bagi Tati untuk berjualan pakaian buatan sendiri. Dengan modal Rp 1 juta dari suami, Tati mulai membuktikan keahliannya dalam menggambar dan mendesain pakaian. Itu semua dia lakukan di sela-sela kegiatan mengurus rumah dan anak. Meski disambi mengurus rumahtangga, saban bulan, Tati mampu membikin 50 potong pakaian anak. Semuanya dia desain, jahit, dan bordir sendiri. “Jiwa saya selalu ingin menghasilkan sesuatu,†ujar Tati. Dan ternyata, baju anak hasil kreasinya diterima pasar. Tati pun kian semangat. Dia juga mulai berani memasang merek Dannis pada baju bikinannya. Lantas, tumbuh pula kepercayaan dirinya untuk mengembangkan usaha. Tati mulai memproduksi pakaian muslim dewasa, mukena, hingga jilbab. Sayang, kali ini tidak laku. Toko-toko pakaian di Surabaya emoh menjual produknya. Ternyata, pakaian muslim buatan Tati bukan segmen dari toko-toko pakaian itu. Dia lantas berpikir, produk Dannis harus jelas target dan segmentasinya. “Akhirnya saya fokuskan produk ini untuk kalangan menengah ke atas,†tutur Tati. Untuk bisa membuat model baju dengan mode mutakhir, Tati rajin menonton acara mode di televisi, membuka majalah wanita, hingga jalan-jalan ke berbagai kota. “Kalau lihat ada pameran fashion di televisi, saya selalu membayangkan berada di acara tersebut dan melihat semua desain untuk menyelami,†ujar Tati. Siap menerima kritikan Di dunia mode, Tati merasakan sebuah ide itu menguras pikiran dan tenaga; hingga terkadang Tati merasa jenuh. Tapi, karena bisnis ini menguntungkan, dia pun tetap senang menjalaninya. Kemampuannya berimajinasi soal model membuat busana Dannis selalu segar. Karena itu, tak perlu heran kalau bisnis Tati juga terus berkembang. Sekarang ini Tati mampu memproduksi 35.000 potong baju dengan omzet mencapai Rp 2 miliar per bulan. Harga termahal dari baju muslim bermerek Dannis ini Rp 250.000. Tati kini memperkerjakan 1.000 orang karyawan dengan melibatkan 500 agen yang tersebar di kota-kota besar. Dia menerapkan konsep kemitraan. “Jadi, saya tidak perlu membuat gerai, sehingga lebih efektif dan efisien,†imbuh Tati. Kendati sudah malang melintang di dunia busana, pakaian muslim buatan Tati tak lepas dari kritikan, termasuk dari konsumen. “Saya anggap kritikan itu sebagai pemacu untuk menampilkan produk yang lebih baik lagi,†ujar Tati.
Impor Diperketat, Tambah Semangat Bisnis garmen di Tanah Air sempat terpukul serbuan produk dari China dan Korea. Tak terkecuali bisnis Rumah Dannis milik Tati Hartati. Menurut Tati, saat keran impor garmen dari China dan Korea dibuka lebar pada 2007, produk pakaian dua negara itu merajalela dan sempat mengancam bisnis baju muslimnya. “Karena harganya lebih murah,†ujar Tati. Namun, sejak pemerintah mulai memperketat keran impor garmen dari China, bisnis busana muslim kembali menggeliat. â€Dengan pengetatan impor itu, pengusaha garmen Tanah Air kini mulai bergairah lagi,†tandas Tati. Tati pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Untuk menggenjot penjualan, Tati memperkenalkan 25 best collection Rumah Dannis yang meliputi pakaian, jilbab, dan mukena. Kisaran harga best collection Dannis ini bervariasi, mulai dari Rp 55.000 sampai Rp 250.000 per potong. â€Pengusaha harus memiliki sense of art untuk menyentil loyalitas pelanggan dengan desain-desain menarik dan material baru,†tutur ibu satu anak ini. Tak hanya itu. Tati sudah memikirkan usahanya untuk jangka panjang. Salah satunya dengan mencetak penerus usahanya. Kini Tati sedang fokus mengajari anaknya yang masih balita untuk mendesain dan menjahit busana muslim.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News