JAKARTA. Waktu bongkar muat barang atau
dwelling time kembali naik. Pada semester I-2017,
dwelling time kembali menjadi 3,5 hari. Padahal, pada tahun lalu waktu bongkar muat barang mampu ditekan menjadi 2,9 hari. Naiknya angka
dwelling time ini berdampak terhadap kegiatan logistik. Ongkos yang harus dikeluarkan pengusaha semakin mahal ketika barang tertahan lebih lama di gudang. Kementerian Perhubungan berdalih, kenaikan angka
dwelling time akibat arus barang melonjak, seiring tingginya permintaan barang selama momentum Lebaran, kemarin. Celakanya, peralatan untuk mengakomodasi arus barang juga masih kurang.
Walhasil, waktu tunggu penyelesaian
dwelling time menjadi bertambah. "Ada antrean karena kebutuhan barang naik. Ini otomatis berdampak pada bertambahnya
dwelling time," terang Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Antonius Tonny Budiono, Jumat (14/7). Kementerian Perhubungan berjanji akan mengevaluasi implementasi proses administrasi untuk kembali menekan angka
dwell time. Sanksi bisa dijatuhkan kepada pihak yang menyebabkan proses bongkar buat menjadi lambat. Pre-clearance Memang,
dwelling time masih menjadi permasalahan yang harus segera diatasi, bila pemerintah ingin mengurangi biaya logistik di Indonesia. Sejatinya, di mata pelaku usaha logistik,
dwelling time bukan merupakan isu utama. Yang menjadi pangkal persoalan justru tahapan
pre-clearance dan
custom clearance, yakni proses administrasi pengeluaran barang dari atau ke pelabuhan muat atau pelabuhan bongkar yang kudu dibenahi. "Sebelum membicarakan
dwelling time, seharusnya pemerintah membereskan terlebih dahulu perihal
pre-clearance dan
custom clearance," kritik Yukki Nugrahawan Hanafi, Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) kepada KONTAN, Senin (17/7). Dari standar Bank Dunia tentang waktu bongkar muat di pelabuhan, terbagi menjadi tiga, yakni
pre clearance,
custom clereance dan post clereance. Gambaran saja, pada tahun lalu di Tanjung Perak,
pre clearance bisa ditekan hingga 1,72 hari,
custom clearance 0,22 hari, dan 1,19 hari untuk proses
post clearance. Dari tiga tahap pemeriksaan dokumen ini, proses
pre clearance sebesar 54,95% terhadap keseluruhan masa bongkar muat barang hingga keluar dari pelabuhan. Atas dasar itu, pemerintah memastikan bahwa kargo tersebut harus bisa dipastikan keluar dari gudang penyimpanan dan sampai ke tempat tujuan. Bukan hanya dipindah ke tempat penampungan sementara (TPS) yang justru membuat biaya logistik membengkak. Yukki menjelaskan, angka
dwelling time turun, jika barang bisa dikeluarkan dari gudang secepat mungkin. "Kalau hanya digeser ke TPS, belum
dweling time. Kalau geser ke TPS harga jadi naik, yang harusnya ke tujuan jadi dikirim ke luar," jelasnya.
Agar angka
dweling time kembali turun, ALFI berharap, pemerintah menghapus jalur kuning, karena dianggap sia-sia. Alasannya, jalur kuning hanya istilah. Faktanya barang masih berada di gudang. Artinya, sudah cukup dengan dua jalur saja, yakni jalur merah dan jalur hijau. "Jalur hijau pun harus memakan waktu hingga 1,5 hari bagi kargo agar bisa keluar dari gudang," terang Yukki. Selain kepastian barang sampai di tempat tujuan, ALFI juga meminta PT Pelindo bisa menghapus tarif progresif bagi barang yang masih tertahan di gudang impor. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Hendra Gunawan