KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Indonesia resmi menjadi anggota penuh aliansi Brazil, Russia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS). Bergabungnya dengan BRICS investasi yang masuk dari China
diperkirakan semakin moncer. Kepala
Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman mencatat, berdasarkan data Kementerian Investasi/BKPM menunjukkan bahwa, pada periode Januari-September 2024, China menempati posisi ketiga sebagai investor terbesar di Indonesia dengan realisasi investasi sebesar US$ 5,78 miliar. “Bergabungnya Indonesia dengan BRICS diperkirakan akan memperkuat aliran investasi dari China ke Indonesia,” tutur Rizal kepada Kontan, Rabu (8/1).
Rizal membeberkan, sektor-sektor yang berpeluang besar menerima investasi China meliputi industri logam dasar, transportasi, pergudangan, telekomunikasi, industri kimia, farmasi, serta listrik, gas, dan air. Pada Januari-September 2024, investasi China di sektor industri logam dasar mencapai US$ 14,39 miliar (42%), transportasi, pergudangan, dan telekomunikasi sebesar US$ 7,98 miliar (23$), dan industri kimia serta farmasi sebesar US$ 3,18 miliar (9%).
Baca Juga: Indonesia Gabung BRICS, Apindo: Peluang Perluas Mitra Dagang Meski begitu, potensi investasi yang masuk dari China masih fluktuatif, mengingat pertumbuhan ekonomi China diproyeksikan melambat ke kisaran 3,4% dalam empat tahun ke depan. “Perlambatan ini dapat mempengaruhi kapasitas investasi China di luar negeri, termasuk di Indonesia. Selain itu, ketergantungan yang meningkat pada investasi China dapat membuat perekonomian Indonesia lebih rentan terhadap dinamika ekonomi dan kebijakan China,” kata Rizal. Oleh karena itu, Ia menyarankan agar diversifikasi sumber investasi dan penguatan fundamental ekonomi domestik menjadi krusial untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan. Tantangan lain adalah, bergabungnya Indonesia dengan BRICS bisa mempengaruhi hubungan investasi dengan Amerika Serikat (AS). Menurut Rizal, di satu sisi AS mungkin melihat Indonesia semakin bergeser ke arah kemitraan strategis dengan negara-negara BRICS, termasuk China, yang dapat mengurangi minat investor AS untuk menanamkan modalnya di Indonesia. “Hal ini relevan di sektor-sektor strategis seperti energi dan teknologi, di mana AS sering bersaing dengan China dalam pengaruh geopolitik dan ekonomi,” ungkapnya. Meski begitu, Rizal bilang, kondisi ini tidak serta-merta mengganggu seluruh aliran investasi AS ke Indonesia. Menurut data BKPM 2024 misalnya, AS tetap merupakan salah satu investor utama di Indonesia, khususnya di sektor energi terbarukan, teknologi, dan manufaktur. Justru tantangan utama adalah memastikan bahwa Indonesia tetap dianggap sebagai mitra investasi yang netral dan stabil secara politik-ekonomi. Dengan demikian, melihat kondisi tersebut pemerintah perlu memberikan jaminan bahwa hubungan dengan BRICS tidak akan mempengaruhi iklim investasi yang terbuka bagi semua negara, termasuk AS. Untuk itu, Rizal mengingatkan agar strategi mitigasi diperlukan untuk menjaga kepercayaan investor AS. Yakni dengan memperkuat regulasi investasi yang adil dan transparan, menawarkan insentif yang kompetitif, serta mendorong kerja sama di sektor-sektor yang tidak langsung bersaing dengan kepentingan BRICS. “Jika tidak dikelola dengan baik, maka potensi eksodus modal (
capital outflow) dari AS dapat memperburuk ketergantungan Indonesia pada investasi China, yang dapat menimbulkan risiko lebih besar bagi stabilitas ekonomi jangka panjang,” tandasnya.
Baca Juga: Gabung BRICS, Indonesia Perlu Dorong Kerja Sama Green Invesment Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Sulistiowati