Bergaya dengan mengacak budaya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Niat iseng Sulaiman Said berkembang menjadi bisnis menjanjikan. Kamengski, merek clothing line miliknya kini makin dikenal dengan ciri khas parodi hasil saling silang dua entitas visual. Hasilnya, menggelitik.

Misalnya, jaket Sukajan, jaket kebanggaan asal wilayah Yokusuka, Tokyo yang biasa memakai desain flora, naga, singa atau sesuatu yang megah, diganti Kamengski dengan gambar ikan lele. Gambar ikan lele seperti pada spanduk warung makan pecel lele di pinggir jalan.

Kamengski juga pernah merilis desain bergambar pedangdut senior Meggy Z, yang sedang berpose mirip seperti tengkorak dalam album Rust In Peace (1990) milik Band Trash Metal asal Negara Abang Sam, Megadeth. "Gue gak mau menerima budaya luar begitu saja, makanya gue gabungin dengan local content, walau hasilnya ancur," kata Said saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (29/3).


Sejak awal berdiri tahun 2009, Said yang merupakan lulusan Desain Komunikasi Visual Institut Kesenian Jakarta ini memang menggunakan pola popular culture mashup dalam mendesain produk-produk baju dan jaket Kamengski.

Alasannya, ia menilai produk-produk impor dengan bervisual bagus tak terjangkau koceknya sebagai mahasiswa. Sementara produk-produk lokal bernilai visual 'nanggung'. "Jujur buat beli merek-merek impor, waktu itu gue emang enggak sanggup. Makanya gue bikin desain sendiri," lanjutnya.

Bermodalkan Rp 300.000, Said mulai memproduksi desain-desain hasil "kawin paksa" dua entitas visual berupa kaos. Mendapatkan sambutan bagus, Said mengembangkan Kamengski lebih serius.

Kini Said tidak sendiri memproduksi Kamengski. Dia dibantu tim desainer grafis dan beberapa orang yang ia pekerjakan di bagian administrasi, dan marketing. Sementara soal produksinya ia bermitra dengan beberapa usaha konveksi.

Meski masih fokus menjual desainnya berupa kaos, Said mulai mendiversifikasi produk Kamengski. Menyasar pasar anak muda, Said memproduksi juga memproduksi bucket hat, snapback, sling bag, jaket, kaos kaki, tas hingga jam tangan. Harga jual produk-produknya berkisar antara Rp 50.000 hingga Rp 500.000.

Said mengaku pasar bisnis kaos pelesetannya cukup lumayan. Dalam sebulan, dia bisa menjual sekitar 400 potong lini produk Kamengski. "Tapi enggak usah disebut omzetnya, ya," pintanya.

Bahkan kini bisnis Kamengski kini juga melebar dengan Kamengski record. Untuk bisnis barunya ini, jika sebelumnya Said mengandalkan pelesetan visual, kini ia memanfaatkan pelesetan bentuk.

Misalnya desain topi atau bucket hat bergambar ayam, persis seperti gambar ayam yang ada di mangkuk mie ayam, bakso dan sejenisnya. Adapula yang hanya diberi bordiran, anti pecah seperti ember. Adapula kaos kaki yang didesain mirip baterai, kaleng sarden, atau rol film kamera.

Andalkan medsos

Dalam mendesain, Said mengaku hanya mengandalkan pengamatan sekitar. Terlebih terkait hal-hal kekinian. "Apalagi sekarang internet mudah diakses, bisa lebih mudah cari ide," katanya.

Sedangkan untuk pemasaran, selain memiliki outlet di bilangan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Kamengski juga kerap mengikuti event. Namun penjualan melalui medsos seperti Facebook, Instagram, dan Twitter menjadi andalan.

Tidak hanya Kamengski. Masih cukup gurihnya pasar anak muda yang ingin bergaya berbeda, membuat bisnis clothing line mengandalkan desain popular culture mash up juga banyak ditemui di beberapa kota lain di Indonesia. Mereka ingin mencuil ceruk pasar potensial, terutama anak muda yang tidak mau disuguhi merek atau desain yang sama.

Di Yogyakarta, ada merek Libertees. Namun, jika Kamengski ingin bercanda, Libertees punya semangat perubahan sosial dalam produknya.

Misalnya, Libertees mempelesetkan God Save The Queen, lagu nasional beberapa negara persemakmuran Britania Raya, menjadi God Save The Queer. Atau gambar filsuf Jerman Karl Marx ditambahkan logo ritel Alfamart yang diubah menjadi Alfamarx.

Adapula bait kedua puisi Maju karya Chairil Anwar yang dimodifikasi menjadi "Sekali berparty, setelah itu mati". Libertees juga menggambar penyair Wiji Thukul yang ditelan Orde Baru dengan menggambar sampul buku Dilan karya Pidi Baiq menjadi Hilang: 1998.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati