Berharap setoran pajak dari profesi dan WP gede



BOGOR. Penerimaan pajak hingga 26 November 2016 baru mencapai Rp 941 triliun atau 69,4% dari target yang ditetapkan dalam APBNP 2016 yang sebesar Rp 1.355,2 triliun. Artinya, penerimaan pajak saat ini masih mengalami defisit Rp 414 triliun.

Menurut Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Yon Arsal, penerimaan pajak ini sudah termasuk uang tebusan dari dana amnesti pajak yang sebesar Rp 94 triliun. Untuk menggenjot penerimaan hingga akhir tahun, Ditjen Pajak akan memaksimalkan program itu.

Yon beralasan, hingga saat ini, masih banyak Wajib Pajak (WP) potensial yang belum mengikuti amnesti pajak, termasuk WP yang bisa dikategorikan sebagai pengusaha kecil dan menengah (UKM). "Kami harap masih akan banyak wajib pajak prominent (besar) dan profesi yang ikut," ujar Yon, Sabtu (26/11).


Untuk itu, Ditjen Pajak tetap akan memaksimalkan sosialisasi secara luas. Beberapa diantaranya, bertemu dengan sejumlah profesi ataupun wajib pajak besar yang belum ikut atau sudah ikut, tapi belum melaporkan secara keseluruhan. 

Dalam berbagai kesempatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta WP tidak menyia-nyiakan kesempatan amnesti pajak ini. Sebab, jika tidak mengikuti program ini, jika di kemudian hari petugas menemukan kekeliruan pelaporan data pajak yang dilakukan WP, Ditjen Pajak akan mengenakan denda sebesar 200% dari pajak terutang.

Namun, selain melalui program amnesti pajak, pemerintah juga akan fokus mengumpulkan penerimaan dari pembayaran pajak reguler. Sebab, dari target penerimaan pajak Rp 1.355 triliun, amnesti pajak hanyalah sebagian kecil, yaitu sebesar Rp 165 triliun. Sisanya berasal dari penerimaan pajak reguler baik Pajak Penghasilan (PPh) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Jadi, akan sangat berisiko jika mengabaikan kegiatan pengumpulan pajak yang reguler.

Salah satu cara yang digunakan Ditjen Pajak untuk menggenjot penerimaan reguler adalah dengan tetap melakukan pemeriksaan terhadap WP. Artinya, penegakan hukum tetap dilakukan, termasuk dengan melakukan penyanderaan alias gijzeling.

Target amnesti pajak

Satu hal yang mulai dilupakan pemerintah adalah bahwa target penerimaan pajak dari amnesti pajak dalam APBN-P 2016 sebesar Rp 165 triliun. Target itu semakin sulit tercapai jika melihat realisasi yang baru Rp 94 triliun.

Apalagi, penerimaan pajak dari amnesti pajak di periode kedua ini tidak sebesar di periode pertama lalu. Selain itu, pemerintah menargetkan lebih banyak pengusaha UKM dan profesi yang ikut amnesti  pajak di periode kedua ini.

Kondisi ini berbeda dengan yang dilakukan pada periode pertama, ketika pemerintah lebih gencar mendekati pengusaha-pengusaha besar. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut turun tangan dengan mengumpulkan pengusaha.

Menurut Bawono Kristiaji, mitra tax research and training services Danny Darussalam Tax Center (DDTC), hasil yang didapat di periode pertama itu sulit dicapai di periode kedua dan ketiga. 

Oleh karenanya, target yang dipatok juga tidak boleh sama. Jika periode pertama pemerintah fokus mengejar nilai penerimaan pajak dari pembayaran uang tebusan, pada periode selanjutnya, pemerintah lebih baik fokus pada pengembangan basis pajak.

Adapun menurut perhitungan DDTC, tahun ini, penerimaan pajak yang akan tercapai diperkirakan hanya sebesar Rp 1.148,8 triliun atau sekitar 84,8% dari target APBN-P 2016.

Menunggu kejutan amnesti pajak periode II di Desember            

Otoritas moneter melihat, meski belum mencapai target, uang tebusan dan dana repatriasi yang dibayarkan, akan menambah likuiditas di pasar. Sehingga, kebutuhan likuiditas akhir tahun diperkirakan aman. 

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo yakin bahwa akan semakin banyak masyarakat yang ikut amnesti pajak menjelang akhir tahun. "Kalau saya lihat, itu khas Indonesia yang berlaku di saat-saat terakhir. Di saat itu justru akan ramai," katanya memprediksi,  Jumat (25/11) di Surabaya.

Menurut Agus, pencapaian yang dilakukan pemerintah melalui program amnesti pajak saat ini sudah cukup baik. Apalagi, jika mengingat tahun 2016 merupakan waktunya konsolidasi fiskal. 

Bahkan konsolidasi tidak hanya terjadi di pemerintahan, melainkan juga di perbankan dan korporasi. Oleh karenanya, konsolidasi juga perlu terus dilakukan antara pemerintah dan BI dan Otoritas Jasa Keuangan.              

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini