Berikhtiar untuk Menyelamatkan Ekonomi RI dari Ancaman Resesi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Awan gelap diramal bakal menggelayuti ekonomi dunia pada tahun depan. Dana Moneter Internasional atawa International Monetary Fund (IMF) dalam laporan berjudul World Economic Outlook (WEO) Countering the Cost-of-Living Crisis Edisi Oktober 2022 menyebut perekonomian global menghadapi sejumlah tantangan yang bergejolak. 

Kondisi tersebut ditandai dengan inflasi yang lebih tinggi dalam beberapa dekade, pengetatan kondisi keuangan di sebagian besar wilayah, invasi Rusia ke Ukraina, dan pandemi Covid-19 yang berkepanjangan, sangat membebani perekonomian global.

Indonesia juga tak luput dari efek resesi yang bisa terjadi. IMF pun kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 dari sebelumnya 5,2% menjadi 5%. Proyeksi tersebut lebih rendah daripada proyeksi pertumbuhan Indonesia yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 yakni sebesar 5,3%.


Meski begitu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai bahwa paling tidak ada empat negara yang cukup berdaya tahan dalam menghadapi ancaman resesi di 2023. Keempat negara itu yakni Indonesia, India, Brazil, dan Meksiko. 

Baca Juga: Di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global, Investasi Emas Jadi Pilihan

Dia menjelaskan, perekonomian global tengah dihadapkan kondisi yang kompleks akibat kenaikan harga komoditas, lonjakan inflasi, hingga tren kenaikan suku bunga. Lembaga-lembaga internasional pun menurunkan proyeksi pertumbuhan di semua negara, baik negara maju maupun berkembang. 

"Negara-negara emerging juga mengalami kondisi yang relatif tertekan, meskipun di dalam situasi saat ini emerging country seperti Indonesia, India, Brasil, Meksiko relatif dalam situasi yang cukup baik," ujarnya dalam Seminar Nasional Badan Keahlian DPR RI, Rabu (19/10) lalu.

Meski demikian, ia menekankan, bukan berarti negara-negara emerging market tersebut tidak terpengaruh oleh gejolak ekonomi global. Sri Mulyani bilang, kondisi eksternal saat ini masih sangat bergejolak sehingga perlu untuk tetap diwaspadai, terutama oleh Indonesia. 

"Inilah yang perlu diwaspadai, meskipun Indonesia sampai dengan tahun 2022 dan 2023 masih diprediksikan tumbuh di atas 5%, namun kita tahu bahwa eksternal faktor menjadi sangat dominan dan ini tentu mempengaruhi bagaimana kinerja ekonomi kita," papar dia. 

Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) melihat adanya tantangan yang perlu diwaspadai. Terutama, menyangkut perekonomian global pada tahun 2023.

“Kondisi ekonomi dan keuangan global pada tahun depan masih penuh tantangan. Setidaknya, ada lima tantangan yang perlu kita waspadai,” terang Gubernur BI Perry Warjiyo, Rabu (19/10).

Tantangan pertama, potensi perlambatan ekonomi global. Perlambatan ekonomi global ini bisa mendorong perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara maju maupun negara berkembang. Kedua, tantangan inflasi yang masih tinggi. Risiko kenaikan inflasi masih muncul dari ketegangan geopolitik yang berlanjut sehingga mengganggu mata rantai pasok perdagangan global.

Ketiga, kenaikan suku bunga agresif negara-negara maju untuk mengendalikan inflasi. Perry melihat negara seperti Amerika Serikat (AS) masih akan mengerek suku bunga acuan menjadi 4,75% pada tahun 2023. Belum lagi, negara-negara di Eropa juga berpotensi masih kerek suku bunga acuan.

Sayangnya, Perry tidak bisa menjamin kenaikan suku bunga acuan ini bisa segera menurunkan inflasi di negara maju tersebut. Pasalnya, masalah inflasi bukan hanya dari sisi permintaan, tetapi juga dari sisi suplai.

Keempat, dolar AS yang masih perkasa. Bila dolar AS menguat, maka akan memberi tekanan ekstra terhadap mata uang di negara berkembang, termasuk Indonesia. 

Baca Juga: Kemenkeu: Sektor Pertambangan dan Industri Pengolahan Akan Terdampak Resesi Global

Kelima, persepsi investor. Di tengah situasi yang tidak pasti ini, Perry memandang kecenderungan investor untuk menarik dananya dari negar aberkembang, terutama investasi portofolionya. Ini juga bisa membawa ketidakpastian terhadap pergerakan nilai tukar negara berkembang.

Dari dalam negeri, bank sentra pun berupaya mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meredam dampak gejolak ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia. Bauran kebijakan makro ekonomi yang terdiri dari instrumen kebijakan fiskal, moneter, makroprudensial dan struktural terus dikembangkan untuk mengatasi gejolak global dan mendukung pemulihan ekonomi nasional.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, perlu alternatif solusi dalam menghadapi perlambatan ekonomi global, kenaikan suku bunga The Fed, munculnya risiko inflasi hingga dolar Amerika Serikat (AS) yang kian perkasa.

Untuk itu, BI bakal menggunakan kebijakan moneter sebagai amunisi dalam meredam gejolak yang terjadi.

"Kebijakan moneter kami gunakan untuk mengendalikan inflasi dan memastikan rupiah relatif stabil agar tidak menimbulkan imported inflation," ujar Perry dalam Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, Kamis (20/10).

Perry menjelaskan BI akan menggunakan kebijakan suku bunga dari instrumen moneter untuk menjaga inflasi. Dari Agustus 2022-Oktober 2022, BI sudah menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (DRRR) atau suku bunga acuan 125 basis poin (bps) sebagai respons dari peningkatan inflasi.

Nah, kemarin bank sentral kembali mengerek bunga acuan 4,75%, naik 50 bps dari sebelumnya. Per September 2022, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) sudah 5,95% secara tahunan, melampaui batas atas kisaran sasaran BI yang sebesar 4%.

Dengan kenaikan bunga acuan, BI yakin bisa membawa inflasi ke target sasaran 3% plus minus 1% di semester II-2023. Untuk mengendalikan inflasi, BI tetap berkoordinasi dengan pemerintah lewat Tim Pengendalian Inflasi (TPI), baik pusat maupun daerah.

Selanjutnya BI juga mengintervensi pasar valuta asing guna menjaga stabilitas nilai rupiah. 

"Kami intervensi di pasar tunai, pasar spot, Domestic Non-Deliverable Forward, dan operasi di pasar surat berharga negara (SBN) sekunder," tegas Perry.

Baca Juga: Penyaluran Kredit Tahun Depan Diramal Masih Tumbuh Meski Resesi Menghantui

Dorong Konsumsi

Sementara itu, ekonom senior yang juga mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, resesi ekonomi akan membuat masyarakat menahan belanjanya. Padahal, konsumsi masyarakat saat ini menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi.

Chatib melihat sekarang tanda-tanda perlambatan ekonomi global dan resesi sudah terlihat. Penguatan dolar Amerika Serikat (AS) akan berimbas pada perusahaan yang memiliki utang dalam dolar AS.

Beban utang mereka akan naik, porsi investasi turun, perusahaan yang berpenghasilan dan repatriasi profit dalam dolar akan terpukul. Dengan kata lain, dunia usaha memang akan mengalami kontraksi.

Di sisi lain, ruang fiskal pemerintah juga menyempit. Setelah ada kondisi luar biasa berupa Covid-19 yang membuka lebar peluang pemerintah untuk memberi banyak insentif fiskal, pada tahun 2023, ruang fiskal bagi pemerintah makin sempit. Sehingga, kemungkinan kontraksi konsumsi pemerintah makin besar.

“Saya khawatir pembicaraan mengenai resesi ini membuat orang-orang jadi menghentikan belanja. Dulu memang saya dinasihati hemat pangkal kaya. Namun, sekarang, dalam pemulihan ekonomi, belanja pangkal pulih,” terang Chatib dalam Indonesia Knowledge Forum BCA, Selasa (18/10) secara daring.

Nah, untuk menggenjot konsumsi rumah tangga, Chatib menyarankan pemerintah fokus dalam memperkuat daya beli masyarakat. Kebijakan fiskal harus fokus untuk melindungi masyarakat kelompok menengah bawah.

Sementara dari dunia usaha, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani  menilai pemerintah masih perlu memberikan insentif perpajakan di tahun depan kepada sektor penopang pertumbuhan ekonomi, misalnya saja sektor UMKM, sektor pariwisata, sektor otomotif, hingga sektor properti. Selain itu, tax allowance dan tax holiday juga masih menjadi daya tarik bagi investor.

"Tahun ini dan tahun depan, kita masih berada di tengah ketidakpastian global. Tensi geopolitik yang masih tinggi, harga pangan yang melonjak, kenaikan suku bunga akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi," katanya.

Hanya saja dirinya menilai, ancaman resesi di tengah ketidakpastian global tidak hanya bisa diatasi dengan insentif perpajakan saja. Meski begitu, pemberian insentif pajak dapat membantu sektor-sektor yang akan terdampak ancaman resesi di tahun depan. 

Untuk itu, menurut Hariyadi, pemberian insentif perpajakan nantinya bisa disesuaikan untuk sektor-sektor yang berpotensi mengalami tekanan akibat ketidakpastian global di tahun depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi